Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) memperkirakan penerbitan surat utang atau obligasi pada 2023 masih ramai.
Ekonom BEI, Adhel Rusd mengatakan, penerbitan obligasi sejalan dengan kebutuhan perusahaan terbuka atau emiten untuk menghimpun dana selain dari aksi penambahan modal dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu. Per September 2022, BEI mencatat 100 perusahaan telah menerbitkan obligasi. Sementara yang ada di pipeline penerbitan obligasi per September 2022 tercatat sebanyak 15 emiten yang antre.
Baca Juga
"Dari angka ini bisa kita simpulkan appetite-nya masih ada karena penerbitan obligasi korporasi menjadi salah satu sumber financing dari perusahaan tercatat. Dilihat dari angkanya saat ini masih menarik, karena bagaimanapun itu akan dibutuhkan perusahana untuk mengebangkan bisnisnya,” kata Adhel dalam edukasi wartawan pasar modal, Rabu (21/12/2022).
Advertisement
Secara keseluruhan, kinerja pasar modal tahun depan juga diperkirakan relatif terjaga. Hal itu merujuk pada data ekonomi terkini, di mana Indonesia masih terpantau cukup resilien dibandingkan beberapa negara lain.
Di pasar modal,indeks juga relatif bagus dibandingkan dengan bursa lain. Kapitalisasi pasar mendekati Rp 10 ribu triliun.
Sejalan dengan itu, investor ritel juga meningkat signifikan di tengah krisis. Dari sisi suplai, jumlah perusahaan tercatat atau emiten baru juga terus bertambah. Hingga akhir tahun ini, total emiten baru sudah mencapai 59 perusahaan, lebih tinggi dari target BEI 55 emiten.
Prospek Obligasi Korporasi Global saat Rupiah Loyo
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih dalam tren pelemahan. Pada Kamis, 3 November 2022, rupiah melemah 16 poin atau 0,11 persen ke posisi 15.663 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.647 per dolar AS.
Pergerakan rupiah turut menekan pasar obligasi. Senior Economist Mirae Asset Sekuritas menerangkan, tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar obligasi disebabkan oleh naiknya suku bunga bank sentral AS (Federal Funds Rate/FFR) yang cukup agresif tahun ini, mencapai 300 bps menjadi 3,25 persen hingga September.
Dia mengatakan kenaikan suku bunga acuan tersebut juga terjadi di dalam negeri di mana BI-7DRRR naik 125 bps hingga 4,75 persen untuk menyikapi tingginya laju inflasi. Inflasi September dibukukan 5,95 persen, tertinggi sejak Oktober 2015, setelah kenaikan harga BBM bersubsidi pada awal September.
“Kami memprediksi FFR dapat naik lagi hingga 4,5 persen pada akhir tahun. Di dalam negeri, kami memprediksi inflasi periode 2022 akan mencapai 7,13 persen sehingga BI 7-DRR dapat naik lagi 25 bps pada bulan ini menjadi 5 persen dari posisi sekarang 4,75%,” kata dia dalam Media Day by Mirae Asset Sekuritas, Kamis (3/11/2022).
Pada kesempatan yang sama, Fixed Income Research Mirae Asset Sekuritas, Dhian Karyantono mengatakan, kondisi saat ini jadi peluang bagi perusahaan yang memiliki obligasi berdenominasi USD karena mendapat gain dari nilai tukar rupiah.
Sebaliknya, untuk perusahaan yang menerbitkan obligasi berdenominasi dolar AS sementara pendapatannya dalam rupiah, dinilai cukup berisiko.
“Kalau perusahaan punya treasury di USD bond malah bagus karena memiliki peluang dari sisi currency. Yang saya khawatirkan ketika perusahaan menerbitkan obligasi (berdenominasi) USD yang mulai jatuh tempo pada tahun ini, menurut saya berisiko karena takutnya tidak mampu bayar dari sisi principle dan kuponnya,” ujar Dhian.
Advertisement
Penerbitan Obligasi Korporasi Sentuh Rp 131,94 Triliun
Sebelumnya, penerbitan obligasi korporasi menyentuh Rp131,94 triliun dalam sembilan bulan pertama 2022. Penerbitan obligasi korporasi tersebut meningkat dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp77,56 triliun.
Kepala Divisi Pemeringkatan Nonjasa Keuangan I Pefindo Niken Indriarsih menuturkan, hingga akhir kuartal III 2022 jumlah penerbitan surat utang korporasi nasional sentuh Rp 131,94 triliun.
"Kalau penerbitan surat utang sampai kuartal III sudah melampaui penerbitan surat utang 2021. Kalau untuk penerbitan sampai 30 September, Rp 131,94 triliun lebih besar dari tahun lalu,” kata Niken dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (25/10/2022).
Kemudian, jumlah emisi obligasi korporasi per September 2022 dengan rating Pefindo senilai Rp 104,06 triliun. Dengan demikia, untuk obligasi dengan rating lembaga pemeringkat lainnya sebanyak Rp 27,88 triliun.
Sementara itu, sektor multifinance memiliki total emisi terbesar dalam penerbitan obligasi korporasi sepanjang 2022, yakni sebesar Rp22,75 triliun. Kemudian, disusul oleh sektor pulp & paper dengan jumlah total emisi Rp17,99 triliun dan sektor perbankan senilai Rp13,6 triliun.
Tak hanya itu, untuk sektor pertambangan jumlah total emisi sebesar Rp12,2 triliun serta sektor konstruksi dengan total emisi Rp11,95 triliun. Lalu, untuk sektor pendanaan mencapai Rp 11,51 triliun.
Obligasi Korporasi Lesu
Sebelumnya, pasar obligasi tanah air dinilai masih lesu akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (the Fed).
Meski secara tahun ke tahun (year on year/yoy) sudah mulai tumbuh positif, tetapi Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman mengatakan pertumbuhannya masih bertahap atau gradual.
"Kita tahu bahwa selama tahun ini seperti tahun sebelumnya, di mana imbal hasil surat berharga negara (SBN) bergejolak dinamis karena terjadi capital outflow dari investor asing. Ini berpengaruh pada pasar obligasi korporasi Indonesia,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/8/2022).
Di sisi lain, Helmi melihat situasi ini sebagai kesempatan bagi perbankan untuk menyasar kredit korporasi (corporation loan) lebih banyak. Sebab, saat corporate bond melemah, biasanya kredit korporasi perbankan tumbuh lebih cepat.
Ke depannya, dengan asumsi sudah ada konsensus sejauh mana The Fed akan menaikkan suku bunga, investor asing diperkirakan akan kembali masuk ke pasar obligasi negara bekembang.
"Jadi walaupun di akhir tahun ini atau awal tahun depan Bank Indonesia (BEI) masih menaikkan suku bunga, kalau sudah dibarengi dengan kembalinya investor asing ke obligasi di negara emerging market, mestinya pasar SBN kita tidak terlalu bergejolak,” ujar dia.
Advertisement