Liputan6.com, Bandung - Aplikasi daring berbasis e-commerce, fintech, travel online, dan transportasi online akan makin menguat tahun 2017 sebagai proses maturasi menuju puncaknya di tahun 2025.
Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision mengatakan, di tahun depan akan makin banyak pelaku bisnis yang menyediakan metode pembayaran via virtual account.
"Bahkan online shop seperti Tokopedia dan Gojek sudah gencar memberikan promosi agar user menggunakan payment system mereka, seperti GoPay untuk layanan Gojek,” katanya di Bandung, akhir pekan lalu.
Advertisement
Skema modern tersebut harus diimbangi dengan performa handal dan kemampuan untuk memahami pasar. Dengan ini, e-commerce lokal dapat menunjukkan performa digital lebih baik. Seperti ditunjukkan Tokopedia dan Bukalapak yang bisa melewati ranking Amazon, Alibaba, dan eBay di Indonesia.
Baca Juga
Hal ini menimbulkan fenomena baru ketika valuasi penyedia layanan e-dagang nasional bahkan mampu melewati valuasi industri yang sudah mapan. Jika tahun lalu terjadi di sektor tranportasi, maka sangat mungkin terjadi pada sektor lainnya pada tahun 2017.
“Demikian pula dengan perkembangan layanan financial technology (fintech,red) yang bisa terus berkembang. Survey terakhir mencatat 13% responden mengetahui atau pernah mendengar tentang fintech, dan 7% responden pernah menggunakan,” katanya.
Sekalipun terjadi kenaikan tajam dari para penyedia OTT tersebut, akan tetapi valuasi dan pendapatan mereka relatif masih di bawah operator telekomunikasi. Namun kondisi akan berubah dalam lima tahun ke depan dengan diawali pada tahun 2017 tersebut.
Rekomendasi 2017
Sharing Vision juga memberikan dua rekomendasi utama terkait kepentingan industri telematika nasional tahun depan. Pertama, operator seluler harus bersinergi dengan OTT dimediasi pemerintah lewat regulasi sehingga tercipta keseimbangan.
Salah satu caranya adalah membuat paket bundle data dengan harga tetap untuk akses OTT. Mekanisme ini sudah dilakukan beberapa operator, misalnya Indosat dengan Spotify serta XL dengan Yonder.
“Cara lainnya adalah operator menjual data ke pengiklan melalui OTT, dan OTT kemudian diwajibkan menumpang infrastruktur operator. Bentuk sinergi lainnya bisa dibahas asal ada dibangun komunikasi antara OTT, operator, dan pemerintah,” katanya.
Ruang komunikasi ini penting karena selama ini, regulasi pemerintah terhadap operator telekomunikasi sangat banyak. Mulai dari biaya lisensi, BHP telekomunikasi, BHP pita spektrum, PPN, PPh, USO, tarif interkoneksi, layanan pelanggan, dan banyak lagi.
Di sisi lain, kata Dimitri, pemain OTT tak diikat seketat hal tersebut. Mereka tak harus membayar lisensi, perizinan, tidak harus bayar pajak (bahkan banyak yang mangkir), termasuk tak memberi layanan optimal pelanggan, sehingga bea operasional lebih ringan.
Jika terus dibiarkan tanpa regulasi ketat dan tegas, maka bisa jadi OTT ke depan bisa membeli operator seluler. Sinyalamen kesana sudah ada seperti Google yang membeli sejumlah perusahaan perangkat keras hingga jaringan virtual. Dan ini berbahaya karena informasi nanti hanya berasal dari satu sumber.
Kedua, hapuskan wacana tidak ada kewajiban membangun data center. Beberapa waktu lalu, Menkominfo dan Dirjen Aptika Kominfo mewacanakan OTT tak perlu membangun data center sehingga ketimpangan makin besar.
“Justru di mata saya, data center menjadi salah satu komponen penting agar OTT tak bisa berkelit dari regulasi, terutama pajak seperti selama ini. Sebab, semua transaksi daring otomatis terekam dan tak bisa disangkal oleh mereka,” katanya.
Apalagi, regulasi terkait sejak lama sudah ada dan tak bisa diingkari. Sebagaimana sudah benar diatur dalam Pasal 17 Ayat 2 PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), "Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya."
Untuk itulah, sambung Dimitri, perusahaan-perusahaan OTT dengan basis pengguna besar seperti Google, Facebook, dan WhatsApp, seharusnya menjadi layanan internet yang paling pertama diminta berkomitmen membangun data center.
"Peta arahnya harus jelas dilakukan pemerintah. Pada 2017 nanti, itu harus siapa yang dikejar lebih dulu untuk membangun bangun data center di Indonesia. Jangan terus ada kecemburuan sosial karena tidak baik buat iklim usaha,” pungkasnya.
(Msu/Ysl)
Advertisement