Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari terakhir, publik sempat dihebohkan dengan wacana Bank Indonesia untuk menarik biaya dari pengisian uang elektronik (e-Money). Meski tak besar, wacana ini nyatanya menuai sejumlah kritik dari masyarakat.
Menanggapi wacana tersebut, CEO PT Dimo Pay Indonesia Mario Robert Gaw menuturkan dirinya tak setuju dengan rencana tersebut. Menurutnya, masyarakat saat ini masih dalam tahap awal untuk mulai menggunakan transaksi non tunai sehingga tak seharusnya dibebankan biaya.
“Saat ini belum waktunya. Harusnya, masyarakat jangan dibebani semacam ini. Kalau sudah kena biaya tambahan akan menghambat pertumbuhan masyarakat non-tunai itu sendiri,” ujarnya saat ditemui di sela-sela peluncuran PaybyQR di McDonald’s di Jakarta, Selasa (19/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Lebih lanjut ia menuturkan, wacana ini sebenarnya berlawanan dengan rencana pemerintah untuk menggalakkan gerakan non-tunai di Indonesia. Sekadar informasi, Gerakan Nasional Non Tunai sebenarnya sudah dicanangkan Bank Indonesia pada 2014.
“Saya rasa kurang tepat dan belum apa-apa sudah ditarik biaya. Jadi agak kontra dengan misi Bank Indonesia untuk mengembangkan cashless society di Indonesia,” tuturnya.
Ia mengatakan, masih ada cara lain untuk menutup ongkos infrastruktur ketimbang dibebankan kepada konsumen.
Salah satunya adalah menarik biaya dari partner yang menggunakan infrastruktur bank. Biaya ini, menurut Mario, menjadi salah satu biaya yang memang harus dikeluarkan oleh penyedia layanan.
“Menurut saya biaya itu sebenarnya masuk dalam cost dari pemain teknologi atau fintech yang menggunakan infrastruktur bank,” ujarnya mengakhiri pembicaraan.
Sekadar informasi, wacana pembebanan biaya isi ulang di uang elektronik memang masih dalam tahap penggodokan.
Kabar terbaru, Himpunan Bank Negara (Himbara) sudah memutuskan untuk tak membebankan biaya tersebut. Namun Bank Indonesia mengatakan pihaknya masih terus menyiapkan ketentuan terkait hal tersebut.
(Dam/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini