Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menerbitkan peraturan turunan UU Cipta Kerja sektor telekomunikasi dalam PP Postelsiar.
Berbagai hal dalam telekomunikasi diatur dalam PP 46/2021 mengenai Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), termasuk mengenai kerja sama antara penyelenggara internet dengan pengelola jasa konten (over the top) OTTĀ asing yang menggelar layanan di Indonesia.
Baca Juga
Dalam Pasal 15 PP Postelsiar disebutkan, kerja sama antara OTT nasional maupun asing dengan penyelenggara jasa telekomunikasi harus dilaksanakan dengan prinsip adil, wajar, nondiskriminatif, dan menjaga kualitas layanan sesuai peraturan perundang-undangan.
Advertisement
Lantas, bagaimana idealnya bentuk kerja sama antara pelaku OTT asing dengan penyelenggara internet di Indonesia?
Pengamat IT sekaligus Direktur ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan, antara OTT asing dengan lokal perlu ada equal level playing field.
Di mana pemerintah harus memberikan karpet merah kepada pemain dalam negeri dan bersikap tegas pada pelaku OTT asing.
"Kemarin yang terjadi ada kesalahan dalam memberikan ketegasan kepada pelaku OTT asing, justru OTT asing malah seolah mendapatkan karpet merah sehingga mereka merasa besar kepala," kata Heru dalam Diskusi IndoTelko Forum megenai Kompetisi Sehat Industri ICT Pasca PP Postelsiar, Rabu (24/3/2021).
"Kalau kita lihat di PP Postelsiar pun mereka sebagai subjek, sebagai mengatur sementara operator telekomunikasi justru seolah wajib untuk menampilkan layanan OTT asing di jaringan telekomunikasinya, padahal proses kerja sama ini harus dilakukan."
Indonesia Tidak Anut Net Neutrality
Heru lebih lanjut mengatakan, Indonesia tidak menganut prinsip net neutrality, di mana masyarakat bebas mengakses layanan atau situs apa saja.
Sementara di Indonesia berlaku UU ITE yang menerapkan pembatasan terkait konten yang dianggap tidak sesuai dengan aturan, misalnya pornografi dan perjudian.
"Kalau Indonesia menganut net neutrality tidak boleh ada yang diblokir. Kalau misalnya kita mengakses katakanlah Netflix, itu akan berdampak pada jaringan telekomunikasinya. Kalau menurut saya, perlu ada ekonomi berbagi, harus simbiosis mutualisme dengan penggelar jaringan, dengan pemerintah negara tempat layanan tersebut berbisnis," katanya.
Hal ini juga berlaku bagi OTT Indonesia ketika akan berbisnis di negara lain. Misalnya saja Gojek yang berbisnis di Vietnam, juga harus mendapatkan izin dari negara tersebut.
Sementara, jika Indonesia mengatur net neutrality, siapa pun langsung bisa berbisnis di Indonesia. Karena Indonesia tidak mengatur net neutrality, jika ada layanan OTT asing yang tidak izin kepada pemerintah, hal ini dianggap bisa merugikan negara, dari segi pendapatan perpajakan.
"Sementara pemain OTT lokal harus membayar pajak ada PPN, PPH 21, dan lain-lain, sementara untuk pemain asing, pemerintah harus mengejar-ngejak untuk mendapatkan pemasukan pajak," katanya.
Advertisement
Konten dan Trafik
Sejalan dengan Heru, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Kamilov Sagala mengatakan, ada dua hal yang perlu disoroti yakni dari segi pajak dan konten.
"Yang paling penting negara mendapatkan pemasukan pajak yang berimbang. Jangan TT lokal di-grade sama dengan OTT asing, mereka belum apa-apa tetapi pajaknya sudah disamakan dengan OTT asing," tutur Kamilov.
Menurutnya, dalam hal konten, pemerintah melalui Kemkominfo telah mengadakan alat yang mahal untuk penapisan konten, tetapi tetap tidak bisa menjaring seluruh konten negatif yang ada di platform seperti Netflix.
"Karena OTT lebih canggih, Netflix sulit dibatasi. Ini yang belum bisa diatasi dengan konsisten. Mungkin kalau (kerja sama) B2B sudah berjalan," tuturnya.
Sementara, Pengamat sekaligus Sekjen Pusat Kajian Kebijakan Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Efendi mengatakan, salah satu hal ideal yang perlu diatur adalah mengenai kerja sama antara OTT asing dengan perusahaan telekomunikasi adalah jika OTT yang dimaksud menyelenggarakan layanan setara penyiaran. Dalam hal ini seperti penyedia konten streaming Netflix, Amazon Prime, HBO Go, dan lain-lain.
"Khusus dengan mereka, kerja sama operator perlu mengatur penyediaan VPN. Selama ini operator saja yang menyediakan layanan, bebannya di operator saja, trafik semuanya ditanggung oleh penyelanggara jaringan. Ini butuh perhitungan, kalau layanan mau baik, butuh berapa Mbps bandwidth-nya, nah ini diatur seperti apa hitung-hitungannya," katanya.
(Tin/Ysl)