Pemerintah Batalkan Rencana Pengenaan Pajak Batu Akik?

Ditjen Pajak sebelumnya berencana merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.03/2008.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Apr 2015, 08:00 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2015, 08:00 WIB
Kementerian Perindustrian Dilanda Demam Batu Akik
Sejumlah pengunjung memadati pameran Batu Mulia bertajuk "Demam Batu" di Plaza Pameran Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (21/4/2015). Pameran yang diikuti 24 provinsi di Indonesia itu berlangsung mulai dari 21-24 April. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Liputan6.com,Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memberi sinyal pembatalan wacana pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 5 persen atas perhiasan mewah termasuk batu akik. Rencana tersebut masuk dalam usulan Ditjen Pajak untuk mengejar target penerimaan pajak 2015. 
 
Demikian disampaikan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Mekar Satria Utama saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (23/4/2015). "Sampai dengan saat ini belum ada pembahasan untuk pengenaan pajak, khusus batu akik," kata dia.
 
Ditjen Pajak sebelumnya berencana merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.03/2008. Aturan ini mengatur tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Dari Pembeli Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah. 
 
Bercermin dari PMK ini, Wajib Pajak yang membeli beberapa barang sangat mewah bakal dipungut pajak penghasilan sebesar 5 persen dari harga jual, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 
 
Dan batu akik masuk kategori perhiasan (berlian, emas, intan dan batu permata) yang kena PPh dengan patokan harga jual lebih dari Rp 100 juta.
 
Selain itu, Mekar menambahkan, barang super mewah tertentu yang bakal dikenakan PPh Pasal 5 persen dan bisa menjadi kredit pajak, yakni mobil super mewah di atas harga tertentu, motor besar, kapal pesiar, pesawat terbaru. 
 
"Berapa batasan harga untuk masing-masing kelompok barang super mewah tersebut, masih dalam pembahasan," ucap dia. 
 
Sementara untuk barang-barang konsumtif, dipastikan Mekar belum akan digolongkan barang super mewah yang bakal dikenai pajak penghasilan 5 persen atau pasal 22. 
 
"Untuk barang-barang konsumtif seperti jam tangan, tas, sepatu mewah termasuk perhiasan yakni batu mulia belum akan dimasukkan sebagai objek barang super mewah yang dikenakan PPh Pasal 22," tegasnya. 
 
Ketika dikonfirmasi lebih jauh apakah rencana pemungutan pajak tersebut bisa dilakukan pada tahun ini, Mekar tidak memberikan jawaban pasti. Dia hanya menuturkan bahwa revisi PMK 253 tetap berjalan. 
 
"Kalau aturan revisi PMK sepertinya on schedule, pembahasan sudah dimulai dengan dunia usaha, sehingga isu terkait objek sudah menjadi wacana di masyarakat. Hanya saja penerbitan aturan masih mengikuti prosedur dan tahapan pembahasan," jelas Mekar. 
 
Namun dia mengungkapkan, perubahan objek seperti batu mulia dan lainnya lebih kepada kepraktisan pemungutan dan pengawasannya. "Kalau sulit dilaksanakan dan tidak bisa dengan mudah diawasi, tidak bijaksana kalau dipaksakan diterbitkan aturannya. Untuk batu mulia, jam tangan dan lainnya tidak dijadikan perluasan objek karena sulit penerapan dan pengawasannya," papar Mekar.
 
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) sekaligus Plt Dirjen Pajak pernah menyebut daftar perluasan objek pemungutan PPh Pasal 22 atas barang sangat mewah dan masuk dalam perubahan PMK pada Januari tahun ini. 
 
1. Pesawat udara pribadi yang semula mencantumkan harga jual lebih dari Rp 20 miliar, kini diubah tanpa batasan
 
2. Kapal pesiar dan sejenisnya berubah tanpa batasan harga lagi dari sebelumnya dipatok pada harga jual lebih dari Rp 10 miliar
 
3. Rumah beserta tanah, semula dalam aturan ditetapkan PPh untuk harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar dan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi, kini menjadi lebih dari Rp 2 miliar dengan luas bangunan lebih dari 400 meter persegi
 
4. Apartemen, kondominium dan sejenisnya, dari patokan harga jual atau pengalihan lebih dari Rp 10 miliar atau luas bangunan 400 meter persegi, diusulkan penurunan harga jual menjadi Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 350 meter persegi
 
5. Kendaraan bermotor roda 4 kapasitas kurang dari 10 orang. Usulan perubahan harga jual lebih dari Rp 1 miliar atau kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc dari sebelumnya harga jual lebih dari Rp 5 miliar dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. 
 
6. Kendaraan bermotor roda 2 atau 3 dari tidak dipungut menjadi harga jual Rp 75 juta atau kapasitas silinder lebih dari 250 cc
 
7. Perhiasan (berlian, emas, intan dan batu permata) dari tidak dipungut PPh, kini dipatok harga jual lebih dari Rp 100 juta
 
8. Jam tangan sebelumnya tidak dipungut PPh, sekarang dipungut untuk harga jual jam tangan lebih dari Rp 50 juta, tas lebih dari Rp 15 juta dan harga jual sepatu lebih dari Rp 5 juta.
 
"Ada yang kita perbaiki, misal pesawat udara pribadi. Apartemen atau kondominium sekarang Rp 2 miliar sudah dianggap mewah, kendaraan roda dua, perhiasan, jam tangan, tas, sepatu belum dipungut, sekarang dipungut. Batu akik kena, tapi yang harga jual di atas Rp 100 juta," papar Mardiasmo. 
 
Menurut dia, Ditjen Pajak memberlakukan tarif PPh bukan untuk Wajib Pajak Perorangan, melainkan Wajib Pajak Badan. 
 
"Jadi Wajib Pajak Badan yang menjual perhiasan, sepatu, yang kena, bukan orang pribadi. Penjual distributor yang Perusahaan Terbatas," terang Mardiasmo. (Fik/Nrm)
 

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya