Cegah Kriminalisasi, Ini Permintaan Pengusaha Kontruksi ke DPR

Pengusaha kontruksi meminta ke DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Jasa Konstruksi.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 27 Apr 2015, 11:25 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2015, 11:25 WIB
Kompleks Gedung DPR
Kompleks Gedung DPR (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan ‎Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia (Gapensi) meminta ke DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Jasa Konstruksi.‎ Hal itu dikarenakan demi menjaga kelangsungan investasi di sektor konstruksi.

Sekretaris Jendral Gapensi‎ H.Andi Rukman Karumpa‎ mengungkapkan, RUU ini diharapkan dapat menghilangkan rasa takut pengusaha konstruksi untuk menggarap proyek-proyek infrastruktur.

“Gapensi berharap agar RUU ini nantinya menjadi UU yang dapat memberikan proteksi hukum kepada pelaku jasa konstruksi. Sebab selama ini banyak pengusaha konstruksi utamanya yang berskala usaha kecil dan menengah (UKM) masih takut menggarap proyek mereka. Sebab, sewaktu-waktu dapat dikriminalisasi,” katanya di Jakarta, Senin (27/4/2015).

Andi mengaku telah berkonsultasi belum lama ini dengan Komisi V-DPR RI dan memberi masukan terkait perlindungan hukum bagi pelaksana konstruksi. Dikatakannya, sebab mudah terkriminalisasi, saat ini banyak proyek-proyek infrastruktur pemerintah terbengkalai. Tak hanya itu, realisasi anggaran di berbagai daerah meleset jauh dari target.

“Dampaknya, kita lihat pertumbuhan ekonomi secara nasional pada kuartal I 2015 ini masih sangat rendah,” ujar Andi.

Menurut Andi, guna mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi ke depan, pemerintah perlu meningkatkan daya serap anggaran. Sebab, sebagian besar ekonomi nasional masih ditopang oleh sektor konsumsi.

Pada sisi lain, Indonesia menghadapi ancaman kenaikkan harga minyak dunia, defisit transaksi berjalan sebab adanya pengetatan ekspor bahan mentah (implementasi UU Minerba), serta tidak menentunya harga komoditas seperti CPO (crude palm oil) di pasar dunia.

Andi mengatakan, sektor yang secara pasti dapat digenjot lebih kencang pertumbuhannya adalah sektor konstruksi dari anggaran negara. Sebagaimana diketahui total  Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2015 yang diserahkan kepada Kementerian/Lembaga sebesar Rp 647,3 triliun terdiri atas 22.787 DIPA.

DIPA di bawah kewenangan Satuan Kerja Pemerintah Pusat berjumlah 18.648 DIPA dengan nilai Rp 627,4 triliun. Sedangkan untuk Satuan kerja Pemerintah Daerah (terkait dengan dekosentrasi, tugas pembantuan dan urusan bersama) berjumlah 4.139 DIPA dengan nilai Rp 19,9 triliun.

Dalam beberapa kesempatan, Andi mengaku sudah mengkomunikasikan masalah kriminalisasi dan kepastian hukum ini dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Keduanya sepakat, selain mendapat perlindungan dari UU, Gapensi juga akan diajak oleh Presiden untuk menyelaraskan implementasi UU tersebut serta kesepahaman dengan yudikatif dan Kepolisian Republik Indonesia. Untuk itu, Presiden akan memfasilitasi audiensi Gapensi dengan Kapolri dan Jaksa Agung dalam waktu dekat.

UKM Konstruksi

Andi mengatakan, UKM konstruksi merupakan pihak yang paling rentan terhadap aksi kriminalisasi. Pasalnya, posisi mereka sangat lemah. Sebab selain tidak punya modal yang kuat untuk membiayai tenaga hukum dan melakukan perlawanan atas kriminalisasi, pelaku UKM ini juga kerap mendapat tekanan dari berbagai pihak.

“Padahal UKM konstruksi ini sangat besar jumlahnya di seluruh Indonesia mencapai 99 persen dari 48 ribu anggota Gapensi. Ini baru yang terdaftar di Gapensi, bagaimana yang di luar Gapensi, masih banyak sekali,” papar Andi.

Andi mengatakan, sebanyak 85 persen nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor besar dengan jumlah 5 persen dari total 160.000 badan usaha.Sedangkan, sisanya sebesar 15 persen nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh UKM Konstruksidengan jumlah 95 persen dari total 160 ribu badan usaha.

"Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi skala kecil dan menengah menjadi tidak sehat dan terdistorsi sehingga membuka peluang bagi pengguna jasa yang bertikad kurang baik untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kontrak konstruksi yang tidak adil dan tidak seimbang,” papar Andi. (Yas/Ndw)
    

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya