Pengamat: Pemerintah Impor Beras, Itu Ironi

Pemerintah dinilai perlu memanfaatkan momentum untuk menambah pasokan beras dalam waktu 1,5 bulan-2 bulan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 08 Mei 2015, 20:03 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2015, 20:03 WIB
Harga Beras Kian Melonjak
Pekerja saat mengemas beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Selasa (24/2/2015). Harga beras sejak 9 Februari 2015 melonjak hingga 30 persen, hal ini disebabkan belum meratanya panen di daerah produsen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat pangan Khudori menilai, keputusan pemerintah mengimpor beras menjadi sesuatu ironis mengingat tidak ada gagal panen yang besar. Kebijakan pemerintah dinilai kurang tepat sehingga Bulog kurang maksimal menyerap pasokan beras.

"Cuma itu ironis bukan karena gagal panen. Bukan terjadi penurunan besar-besaran beras, tapi karena salah kebijakan kalau itu terjadi," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (8/5/2015).

Pemerintah masih menimbang keputusan untuk melakukan impor beras. Keputusan tersebut bakal diambil pada jika Perum Bulog tidak menyerap secara maksimal karena tingginya harga di pasaran. Keputusan itu dilakukan untuk menjaga harga.

Dia menambahkan, keputusan impor beras bukan hal yang mustahil. Hal itu untuk mengantisipasi tidak maksimalnya serapan Bulog sehingga tidak terjadi guncangan harga. "Karena pengadaan rendah jadi habis. Pasar sangat mungkin gejolak. Tak mungkin tidak gejolak," kata Khudori.

Jurus Cegah Impor Beras

Melihat kondisi itu, Khudori menilai pemerintah perlu melancarkan strategi supaya memperbesar pengadaan beras di Perum Bulog. Hal itu dilakukan supaya beras tidak langka di pasaran yang berimbas pada kenaikan harga dan mencegah impor beras. Khudori mengatakan, saat ini Bulog  memiliki waktu sempit untuk memperbesar pengadaan beras.

"Kalau dilihat sekarang momentum untuk menambah pengadaan dengan waktu  1,5-2 bulan, peluangnya kecil," kata dia.

Dia bilang, cara untuk meningkatkan pengadaan beras Bulog ialah dengan  pengadaan secara komersial. Namun, hal tersebut berisiko karena berada di luar ketentuan pemerintah.

"Pada tahun 2009 di bawah Mustafa Abubakar, situasi hampir sama seperti sekarang harga pasaran tinggi, HPP rendah, lewat komersial besar-besaran. Harga jadi stabil, inflasi terjaga tapi konsekuensi harga turun Bulog rugi Rp 500 miliar," ujar Khudori.

Sementara, dia bilang sebagai perusahaan pelat merah Bulog tidak boleh rugi karena dianggap melanggar perundang-undangan. Karena itu, strategi yang dilancarkan ialah mesti ada yang menanggung rugi Bulog yaitu pemerintah. Dia menegaskan, itu tugas pemerintah karena mendorong Bulog untuk menjaga stabilitas pangan.

"Ya karena Bulog menjalankan tugas negara,  pemerintah yang menanggung, bukan Bulog. Jadi semaksimal mungkin kerja tanpa mikir untung rugi," tutur dia. (Amd/Ahm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya