Liputan6.com, Jakarta - Usulan penarikan jaminan pensiun sebanyak 8 persen oleh BPJS Ketenagakerjaan masih menuai pertanyaan. Ada pihak yang merasa, kendati iuran besar namun imbal hasil yang diberikan kecil tak sebesar yang diterima oleh pegawai negeri sipil (PNS).
BPJS Ketenagakerjaan sendiri mengungkapkan, dengan besaran tersebut hasil yang diterima sekira 30-40 persen ketika memasuki masa pensiun.
Direktur Kepesertaan dan Hubungan antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Junaedi mengatakan, sejatinya manfaat yang diterima tak bisa disamakan. Mengingat, iuran penarikannya pun berasal dari sumber berbeda.
Baca Juga
"PNS itu bukan dari iuran, dari APBN. Sumber untuk membayar PNS bukan iuran pegawai tapi dialokasikan dari APBN. Jadi salah sekali dia menghitungkan, menghubungkan antara yang dipotong oleh pegawai dengan manfaatnya," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (28/5/2015).
Advertisement
Dia pun mengatakan, dengan jumlah iuran 8 persen memperhitungkan banyak hal, di antaranya keberlanjutan instansi.
"Sebetulnya mau 8 persen,1 persen, 3 persen cukup berapa tahun uangnya?. Kalau cukup uangnya, jangan kalau terlalu kecil 10 tahun habis siapa yang bayar," kata Junaedi.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak pemerintah untuk transparan dengan rencana penarikan iuran jaminan pensiun 8 persen. Lantaran, jika dibanding PNS, hasil yang diterima pekerja lebih sedikit.
"Termasuk mendesak pemerintah untuk lebih terbuka mengapa dengan iuran 8 persen tapi manfaat pensiunnya hanya 30 persen-40 persen saja. Padahal untuk PNS dengan nilai iuran yang kurang dari 8 persen, tapi pemerintah memberikan manfaat pensiun PNS 60 persen dari gaji terakhir," tutur dia.
Sejalan dengan itu, pihaknya mengatakan puluhan juta buruh terancam tidak mendapat jaminan pensiun karena Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang jaminan pensiun belum disahkan.
"Lebih dari 40 juta buruh terancam tidak mendapatkan jaminan pensiun pada 1 Juli 2015 dikarenakan Presiden Jokowi belum menandatangani RPP Jaminan Pensiun," kata Said.
Padahal jika melihat perintah dari Undang-undang (UU) BPJS, RPP tersebut harus sudah ditandatangani pada November 2014. Oleh sebab itu, masa buruh meminta pemerintah segera mengesahkan RPP ini.
Lebih lanjut, dia pun mendesak agar pemerintah segera menandatangani RPP itu paling lambat awal Juni 2015. Jika tidak, maka buruh akan menggelar aksi besar-besaran.
"Buruh sedang mempersiapkan aksi besar-besaran selama 5 hari berturut-turut di seluruh Indonesia pada akhir Mei dan Juni ini," kata dia. (Amd/Ahm)