Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut sejumlah pengusaha tekstil berencana menutup perusahaannya dalam waktu dekat. Langkah ekstrem ini diambil karena pengusaha tidak lagi mempunyai harapan untuk menjalankan roda bisnisnya di Indonesia.
Ketua Umum API, Ade Sudrajat menyatakan, menutup perusahaan adalah langkah terakhir dari pengusaha tekstil saat segala upaya penyelamatan perusahaan gagal.
"Upaya ekstrem mereka memang menutup perusahaan, bukan karena enggak kuat lagi dengan kondisi perekonomian saat ini, tapi lebih kepada Indonesia no future. Enggak ada lagi masa depan atau harapan," ucap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (27/7/2015).
Bagi perusahaan domestik, kata Ade, pengusaha tekstil akan menutup perusahaan selamanya. Namun bagi perusahaan asing, sambungnya, mereka angkat kaki dari Indonesia, kemudian pindah ke negara lain.
Saat ini, dia mengakui tengah mendata sejumlah perusahaan yang berniat menutup perusahaan dan hengkang dari Negara ini. Jika hal itu benar, maka ribuan bahkan puluhan ribu orang akan kehilangan pekerjaannya.
"Memang sudah ada yang ingin menutup perusahaannya setelah Lebaran ini. Tapi kita belum bisa menyebutkannya karena masih didata. Bila benar, ribuan pekerja bakal menganggur," ucap Ade.
Pada dasarnya, dijelaskan dia, sebelum memutuskan menutup perusahaan, para pengusaha tekstil telah melakukan berbagai cara penyelamatan. Pertama, mencari pangsa pasar ekspor non tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur dan lainnya. Hal ini dilakukan karena terjadi pelemahan daya beli masyarakat baik di dalam negeri maupun negara tujuan ekspor tradisional.
"Kalau ke China enggak mungkin, karena kalah tempur. Sedangkan merambah ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa, kita enggak punya akses khusus yakni perdagangan bebas sehingga bea masuk impor ke sana 11-30 persen. Mustahil kan bisa bersaing dengan produk di sana. Padahal kalau ada akses ini, bea masuk impor bisa nol persen," jelas dia.
Strategi kedua, Ade bilang, penghematan energi terutama listrik. Menurutnya, struktur biaya paling besar adalah listrik yang mencapai 20 persen mengingat harga jual listrik di Indonesia yang termahal 10-11 sen per Kwh.
"Belum lagi porsi lebih besar yang dibebankan ke perusahaan untuk BPJS Kesehatan, aturan OJK terkait kenaikan asuransi, penggunaan rupiah di dalam negeri oleh Bank Indonesia (BI), dan lainnya," paparnya.
Upaya ketiga, sambung Ade, pengurangan jam kerja karyawan dari tujuh hari menjadi empat atau lima hari perminggu. Dengan demikian, kata Ade produksi tekstil ikut merosot hingga 30 persen dan memberi kesempatan supaya barang-barang yang tersimpan di gudang keluar dan dijual. (Fik/Ndw)
Tak Ada Masa Depan, Pengusaha Tekstil Angkat Kaki dari RI
Sejumlah pengusaha tekstil berencana menutup perusahaannya dalam waktu dekat.
diperbarui 27 Jul 2015, 07:40 WIBDiterbitkan 27 Jul 2015, 07:40 WIB
Advertisement
Live Streaming
Powered by
Video Pilihan Hari Ini
Video Terkini
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Cari Kerja Jadi Lebih Sulit? Ini Strategi Agar Ga Kena Ghosting Perekrut
Kata-Kata Semangat Buat Pacar yang Menyentuh Hati
Nusron Ungkap 2 Perusahaan Pemilik Sertifikat HGB Kawasan Pagar Laut di Tangerang
VIDEO: Petugas Damkar Lebak Tangkap Dua Monyet Liar di Perumahan CMR Maja
Instagram Perpanjang Durasi Reels Menjadi 3 Menit, Saingi TikTok
6 Hoaks Sepekan, dari Bencana sampai Insentif untuk Masyarakat
Gaya Selvi Ananda Gandeng Gibran Rakabuming Kondangan ke Pernikahan Anak Menko Yusril
Duduk Perkara Pagar Laut di Kabupaten Tangerang, Siapa Pemiliknya?
Evaluasi di Yogyakarta, Penambahan Sasaran MBG Tergantung Kesiapan Daerah
Pernah Gagal dengan Sancho, Manchester United Belum Kapok Rekrut Pemain Dortmund
Polisi Ungkap Alasan Lolly Putri Nikita Mirzani Diserahkan ke Keluarga
Memahami Aturan Pemecatan ASN: Ketentuan dan Prosedur Lengkap