Tak Ada Masa Depan, Pengusaha Tekstil Angkat Kaki dari RI

Sejumlah pengusaha tekstil berencana menutup perusahaannya dalam waktu dekat.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Jul 2015, 07:40 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2015, 07:40 WIB
Pabrik Tekstil
Pabrik Tekstil (istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut sejumlah pengusaha tekstil berencana menutup perusahaannya dalam waktu dekat. Langkah ekstrem ini diambil karena pengusaha tidak lagi mempunyai harapan untuk menjalankan roda bisnisnya di Indonesia.  

Ketua Umum API, Ade Sudrajat menyatakan, menutup perusahaan adalah langkah terakhir dari pengusaha tekstil saat segala upaya penyelamatan perusahaan gagal.  

"Upaya ekstrem mereka memang menutup perusahaan, bukan karena enggak kuat lagi dengan kondisi perekonomian saat ini, tapi lebih kepada Indonesia no future. Enggak ada lagi masa depan atau harapan," ucap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (27/7/2015).  

Bagi perusahaan domestik, kata Ade, pengusaha tekstil akan menutup perusahaan selamanya. Namun bagi perusahaan asing, sambungnya, mereka angkat kaki dari Indonesia, kemudian pindah ke negara lain.

Saat ini, dia mengakui tengah mendata sejumlah perusahaan yang berniat menutup perusahaan dan hengkang dari Negara ini. Jika hal itu benar, maka ribuan bahkan puluhan ribu orang akan kehilangan pekerjaannya.

"Memang sudah ada yang ingin menutup perusahaannya setelah Lebaran ini. Tapi kita belum bisa menyebutkannya karena masih didata. Bila benar, ribuan pekerja bakal menganggur," ucap Ade.  

Pada dasarnya, dijelaskan dia, sebelum memutuskan menutup perusahaan, para pengusaha tekstil telah melakukan berbagai cara penyelamatan. Pertama,  mencari pangsa pasar ekspor non tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur dan lainnya. Hal ini dilakukan karena terjadi pelemahan daya beli masyarakat baik di dalam negeri maupun negara tujuan ekspor tradisional.  

"Kalau ke China enggak mungkin, karena kalah tempur. Sedangkan merambah ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa, kita enggak punya akses khusus yakni perdagangan bebas sehingga bea masuk impor ke sana 11-30 persen. Mustahil kan bisa bersaing dengan produk di sana. Padahal kalau ada akses ini, bea masuk impor bisa nol persen," jelas dia.

Strategi kedua, Ade bilang, penghematan energi terutama listrik. Menurutnya, struktur biaya paling besar adalah listrik yang mencapai 20 persen mengingat harga jual listrik di Indonesia yang termahal 10-11 sen per Kwh.

"Belum lagi porsi lebih besar yang dibebankan ke perusahaan untuk BPJS Kesehatan, aturan OJK terkait kenaikan asuransi, penggunaan rupiah di dalam negeri oleh Bank Indonesia (BI), dan lainnya," paparnya.

Upaya ketiga, sambung Ade, pengurangan jam kerja karyawan dari tujuh hari menjadi empat atau lima hari perminggu. Dengan demikian, kata Ade produksi tekstil ikut merosot hingga 30 persen dan memberi kesempatan supaya barang-barang yang tersimpan di gudang keluar dan dijual. (Fik/Ndw)


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya