Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membangun 33 tangki penyimpan biodiesel. Tangki tersebut diharapkan bisa mendorong program pemerataan mandatori Bahan Bakar Nabati (BNN).
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan, pembangunan tersebut menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 68 miliar.
"Tahun depan kami bangun 33 tangki dengan kapasitas 23.100 kilo liter (KL)," kata Rida, di kantor Direktorat Jenderal EBTKE, Jakarta, Jumat (13/11/2015).
Rida mengungkapkan, pembangunan tangki penyimpanan tersebut bertujuan untuk membantu PT Pertamina (Persero) menyalurkan biodiesel pada wilayah yang belum terjangkau karena belum adanya fasilitas penyimpanan tersebut. "Membantu Pertamina di wilayah yang belum memiliki fasilitas penyimpanan," tegasnya.
Rida menyebutkan, wilayah yang akan menjadi sasaran pembangunan tangki tersebut adalah Maluku dan Balongan Indramayu Jawa Barat. "33 tangki tersebut sudah ditentukan tempatnya. Termasuk salah satunya di Balongan dengan kapasitas 10 ribu liter. Untuk biodiesel," paparnya.
Baca Juga
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal EBTE Kementerian ESDM, Tisnaldi menambahkan, tangki tersebut akan dibangun di lokasi Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) milik Pertamina. Dengan begitu dapat mempercepat pembangunan tangki. "Kapasitas tangki berbeda-beda. Paling kecil 50 KL dan paling besar 10.000 KL," pungkasnya.
Sebelumnya, Pemerintah tengah mengembangkan penggunaan bahan bakar nabati(BBN) salah satunya kelapa sawit. Kementerian ESDM menyatakan penggunaan campuran biodiesel pada solar sebesar 15 persen (B15) dapat menolong petani kelapa sawit.
Program B15 yang saat ini sedang berjalan menghasilkan banyak dampak positif, salah satunya adalah mendongkrak harga minyak kelapa sawit, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit.
"CPO (Crude Palm Oil) sudah naik sekarang. sudah terasa mampu mendongkrak harga CPO sampai US$ 600 per metrik ton (mt), kalau kemarin US$ 450 per mt," kata Rida.
Rida menambahkan, sejak program yang bertujuan menekan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar tersebut dilaksanakan, ekspor biodiesel pun meningkat. Sementara impor solar berkurang. Hal tersebut berpengaruh pada penghematan devisa.
Tahun ini ditargetkan devisa yang dapat dihemat dari program tersebut mencapai US$ 360 juta. " Maka dengan sendirinya aliran devisa makin deras ke dalam," ungkap Rida.
Menurut Rida, jika Indonesia memiliki devisa banyak, maka akan menolong pelemahan rupiah yang saat ini sedang loyo terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Dengan sendirinya bisa mempengaruhi penguatan rupiah. Di sisi lain pada saat yang sama, kita menghemat devisa yang dipakai untuk impor solar. Jadi double impact mandatori biodiesel. Petani sawit juga bergairah lagi," pungkasnya. (Pew/Gdn)
Advertisement