Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dianggap tak perlu mengadaptasi ratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dirancang oleh World Health Organization (WHO).
Lantaran Indonesia telah memiliki regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 yang mengatur pengendalian tembakau.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, justru ketentuan PP tersebut mengatur secara ketat peredaran tembakau.
"Jika diperhatikan beberapa ketentuan di dalam PP 109 sebenarnya lebih ketat dibandingkan dengan apa yang diatur dalam FCTC. Untuk itu, Pemerintah sebaiknya fokus dalam menerapkan dan menegakkan PP 109. Tidak serta merta peraturan internasional lebih efektif dalam mengatur pengendalian tembakau," kata dia dalam siaran pers, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Baca Juga
Dia mengaku khawatir dengan mengadaptasi FCTC justru menyebabkan kartel pertembakauan. Menurut dia, kerangka dalam FCTC tidak hanya mengurangi jumlah perokok melainkan juga mengendalikan produksi tembakau dari hulu sampai hilir.
Dia bilang, pemerintah seharusnya tak khawatir jka memutuskan untuk tidak meratifikasi FCTC. Lantaran terdapat negara-negara lain yang menolak kerangka aturan itu.
"Pengendalian produksi tembakau cenderung memunculkan kartel. Ini mengingat kuota tembakau yang dapat dihasilkan di suatu negara akan diatur. Bila di suatu negara jumlah perokok tidak sebanding dengan produksi tembakau yang dihasilkan ini akan berakibat pada negara tersebut mengimpor daun tembakau atau rokok yang telah jadi," jelas dia.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berharap pemerintah menolak FCTC. Dia beralasan, FCTC akan mengakibatkan 2 juta petani tembakau kehilangan pekerjaan.
"Tembakau merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan sudah turun-temurun dibudidayakan di Indonesia. Tembakau merupakan tanaman yang sangat cocok pada iklim tropis seperti Indonesia," ujar dia. (Amd/Ahm)