Babak Baru Usai Program Tax Amnesty

Ditjen Pajak sudah menjalankan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang belum ikut tax amnesty dan yang tidak seluruhnya menyampaikan hartanya.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 16 Mei 2017, 11:46 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2017, 11:46 WIB
20161101-Tax-Amnesti-ITC-Glodok-AY4
Petugas menunjukan sosialiasi program tax amnesty di ITC Mangga Dua, Jakarta, Selasa (1/11). Dalam sosialisasi itu, Dirjen Pajak mengajak para pedagang dan pelaku UMKM untuk ikut serta program tax amnesty. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan siap melakukan penegakkan hukum sesuai Pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak pasca tax amnesty. Tujuannya untuk mengusut harta Wajib Pajak (WP) baik Orang Pribadi maupun Badan yang tidak ikut program tax amnesty ataupun yang ikut tapi tidak melaporkan seluruh hartanya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, Ditjen Pajak sudah menjalankan pemeriksaan terhadap WP yang belum ikut tax amnesty dan WP yang tidak seluruhnya menyampaikan hartanya. Pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari langkah penegakkan hukum Pasal 18 UU Tax Amnesty.

"Pemeriksaan untuk Pasal 18 UU Tax Amnesty pasca Tax Amnesty tidak ditargetkan jumlahnya tapi berdasarkan data yang telah kami miliki dan yang akan kita dapatkan terkait kepemilikan harta WP yang tidak ikut tax amnesty atau harta yang tidak diungkap sepenuhnya di Surat Pernyataan Harta (SPH) bagi WP yang ikut tax amnesty," tegas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Upaya penegakkan hukum tersebut akan diperkuat dengan kehadiran Peraturan Pemerintah (PP), yakni aturan turunan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, khususnya Pasal 18 terkait perlakuan atas harta yang belum atau kurang diungkap di SPH Tax Amnesty.

Diakui Hestu Yoga, pemeriksaan atas WP yang belum ikut tax amnesty maupun yang sudah ikut namun tidak melaporkan seluruh harta di SPH tax amnesty akan berjalan terus sampai dengan 30 Juni 2019 sesuai batas waktu penerimaan Pasal 18 UU Tax Amnesty.

"Prosedurnya seperti pemeriksaan biasa, diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan. Kemudian dilakukan pemanggilan kepada WP untuk mengklarifikasi data harta tersebut, dan menerbitkan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar)," dia menjelaskan.

Sementara itu, Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mendukung langkah pemerintah dalam menerbitkan PP Pemeriksaan Pajak terkait Pasal 18.

"Tentunya penting untuk memberi kepastian hukum menegaskan sifat lex specialis UU Pengampunan Pajak, karena daluwarsa penetapan pajak menurut UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah lima tahun sebelum berakhirnya tahun pajak atau masa pajak," ujarnya.

Lebih jauh Prastowo mengatakan, apabila data atau informasi mengenai harta ditemukan, UU tidak mengatur dasar penilaian harta tersebut sebagai tambahan penghasilan, apakah nilai harta saat diperoleh (harga perolehan) atau nilai harta saat ditemukan (nilai pasar), maka akan berpengaruh pada besarnya tambahan penghasilan sebagai dasar pengenaan pajak.

"Jika tidak diatur lebih lanjut dan memberi rasa keadilan, dikhawatirkan menimbulkan sengketa pajak dan penolakan dari wajib pajak. Diusulkan untuk dapat digunakan harga perolehan untuk memberi keadilan," dia menerangkan.

Terkait sanksi 200 persen, apabila ditemukan harta yang tidak dilaporkan dalam SPH dan dianggap sebagai tambahan penghasilan, padahal sudah ikut tax amnesty, dinilai Prastowo, kurang adil dan memberatkan.

"Apalagi bagi WP yang tidak ikut pengampunan pajak hanya dikenai sanksi sesuai UU KUP (2 persen per bulan paling tinggi 48 persen). PP ini dapat mengatur dengan memberi kesempatan WP melakukan pembetulan SPT agar terhindar dari sanksi atau menjamin pengurangan sanksi administrasi menurut Pasal 36 UU KUP," jelasnya.

Prastowo pun menyoroti, Pasal 19 UU Pengampunan Pajak yang mengatur bahwa segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak hanya dapat diselesaikan melalui gugatan ke pengadilan pajak. Padahal UU KUP mengatur, sengketa yang bersifat materiil (terkait isi ketetapan), diselesaikan melalui keberatan dan banding.

"Sengketa materiil terkait pelaksanaan UU Pengampunan Pajak seyogyanya tetap dapat diselesaikan melalui proses keberatan dan banding di Pengadilan Pajak, demi keselarasan dengan ketentuan lain dan terjaminnya hak-hak WP," sarannya.

Dia mengimbau kepada Ditjen Pajak supaya memprioritaskan pemeriksaan kepada WP, baik yang tidak ikut maupun yang ikut tax amnesty, tapi memiliki data akurat atau tidak ada sengketa dan selama ini tidak mengindahkan imbauan untuk melakukan pembetulan Surat Penghasilan (SPT) Tahunan PPh. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya