Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) tengah melakukan kajian untuk menerbitkan digital currency atau uang digital. Salah satu teknologi yang dipertimbangkan bank sentral ini untuk memfasilitasi uang digital tersebut adalah blockchain.
Secara definisi, blockchain adalah besaran digital yang terdesentralisasi, meliputi transaksi-transaksi, dan bekerja dengan data yang diatur melalui serangkaian catatan yang disebut blok. Sistem blockchain juga diklaim memiliki proteksi yang tinggi.
Advertisement
Baca Juga
"Blockchain itu akan kita dalami, kemungkinan digunakan bank sentral dalam penerbitan uang digital. Jadi ini akan terjaga oleh otoritas yang jelas dan menggunakan teknologi mutakhir," kata Gubernur BI, Agus DW Martowardojo di komples BI, Jumat (2/2/2018).
Saat ini, blockchain mulai banyak dikenal karena digunakan oleh bitcoin. Bitcoin menjadi fenomenal, mengingat nilainya yang terus melambung, meski otoritas keuangan Indonesia tidak mengakui dan melarang penggunaannya sebagai alat pembayaran.
Meski demikian, Agus meminta kepada masyarakat untuk tidak melihat blockchain sebagai sistem yang negatif karena sangat erat dengan bitcoin. Sistem tersebut merupakan bagian dari kemajuan teknologi yang harus dipertimbangkan demi menunjang industri keuangan lebih efektif dan modern.
"Kami jelaskan jangan dianggap posisi negatif teknologinya (blockchain). Kita ingin kembangkam teknologi yang mutakhir," tambah Agus.
Untuk pengembangan uang digital ini, BI perlu melakukan kajian yang mendalam sebelum nantinya diterbitkan. Setidaknya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan kajian tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Menguji Kelayakan Bitcoin Sebagai Mata Uang
Fenomena bitcoin mencuri perhatian masyarakat saat ini. Bagaimana tidak, bitcoin yang dikenal sebagai mata uang digital tersebut nilainya telah melonjak berkali-kali lipat. Lantas, layakkah bitcoin menjadi sebuah alat tukar maupun investasi?
Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai, bitcoin tak layak sebagai mata uang maupun alat investasi.
"Kalau currency yang kita kenal uang tunai, hard case atau bisa dengan kartu. Sekarang itu bitcoin beda, makanya saya termasuk menolak. Menurut saya termasuk investasi bodong," kata dia dalam acara Seminar Sehari Melek Investasi di John Paul School Bekasi, 27 Januari 2018.Â
Menurut dia, bitcoin tak layak menjadi alat nilai tukar karena tidak memiliki dasar penilaian (underlying). Hal itu berbeda dengan uang yang secara umum dipakai saat ini.
Dia pun bercerita mengenai sejarah terbentuknya uang. Dia bilang, mulanya adanya dolar Amerika Serikat (AS) tak lepas dari adanya jaminan emas.
"Sekarang saya sedikit cerita, bagaimana sejarah terbentuknya uang, rupiah, dolar. Pertama kali uang diciptakan itu harus didukung atau dibackup dengan emas, atau logam mulia bisa silver dan lain-lain. Setiap peredaran uang katakanlah dolar AS, itu The Fed simpan emas. Makin banyak uang beredar makin banyak emas disimpan. Supaya orang yang pegang uang itu percaya, bahwa uang itu ada nilainya," jelas dia.
Seiring berkembangnya zaman, emas tak mampu menjadi jaminan uang. Oleh karena itu, dasar penilaian uang pun berubah menjadi perekonomian suatu negara.
"Jadi mata uang atau currency itu di-backup oleh kepercayaan. Terhadap apa? Kepercayaaan terhadap perekonomian suatu negara. Singkat kata, kalau ekonomi membaik, rupiah menguat," jelas dia.
Hal itu sangat berbeda dengan bitcoin yang sama sekali tak punya dasar penilaian. Itu belum lagi nilainya yang sangat fluktuatif sehingga bitcoin tak memenuhi syarat sebagai mata uang.
"Satu lagi bitcoin fluktuatif atau volatil. Sama sekali tidak memenuhi sayarat sebagai currency," ujar dia.
Advertisement