Rating Naik Disebut Jadi Bukti Pemerintah dan BI Hati-Hati Kelola Utang

Moody's menaikkan rating utang Indonesia menjadi Baa2 outlook stabil. Capaian ini membuktikan pemerintah dan BI mampu mengelola utang secara kredibel.

oleh Nurmayanti diperbarui 15 Apr 2018, 16:40 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2018, 16:40 WIB
Moody's Investors Service
Moody's Investors Service (AP Photo/Mark Lennihan)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's Investor Service (Moody's) meningkatkan peringkat utang Indonesia atau Sovereign Credit Rating (SCR) dari Baa3/Outlook Positif menjadi Baa2/Outlook Stabil baru-baru ini. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai, kenaikan rating tersebut membuktikan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sangat kredibel mengelola utang.

“Ini menjadi bukti bahwa Presiden Jokowi kredibel dan pruden (hati-hati) dalam mengelola utang,” ujar Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi dan Bisnis Rizal Calvary Marimbo dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (15/4/2018). 

Rizal mengatakan, kenaikkan tersebut merupakan cerminan kredibilitas penyelenggara kebijakan terkait utang dan efektif mendorong stabilitas makroekonomi.

“Ini yang menilai positif Moody's, bukan kami, bahwa pemerintahan sebelumnya sampai pemerintahan Jokowi-JK mampu menjaga defisit fiskal di bawah batas 3 persen sejak 2003. Defisit dapat dipertahankan di level rendah dan didukung oleh pembiayaan yang bersifat jangka panjang dapat menjaga beban utang tetap rendah sehingga mengurangi kebutuhan dan risiko pembiayaan,” jelas Rizal.

Selain pemerintah, PSI juga mengapresiasi kinerja BI yang mampu menjalankan tugasnya di wilayah moneter sehingga stabilitas makroekonomi terjaga dengan baik.

“Ada kebijakan nilai tukar yang fleksibel, berkat kerja sama yang cantik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan BI, inflasi terjaga di level yang cukup rendah dan stabil,” tutur Rizal. 

PSI menilai, saat ini kondisi keseimbangan primer atau primary balance Indonesia, terus membaik.

“Memang dalam primary balance, pendapatan dengan pengeluaran pemerintah masih defisit. Defisit itu biasa, hanya sedikit negara yang enggak defisit, sehingga pemerintah mencari utangan untuk menutupi itu. Yang penting kondisinya terus membaik dan terkelola dengan baik,” papar Rizal.

Untuk diketahui, sebagian besar negara mengalami defisit anggaran. Negara seperti China mengalami defisit anggaran 2,74 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lalu India sebesar 7,1 persen dari PDB, sedangkan Malaysia 3,03 persen dari PDB. Negara berkembang, seperti Vietnam mengalami defisit anggaran hingga 6,5 persen dari PDB, Polandia 2,9 persen dari PDB, Argentina 7,3 dari PDB, sedangkan Kolombia 2,84 persen dari PDB.

“Jadi defisit kita aman di bawah 3 persen dari PDB. Bahkan Qatar negara kaya minyak defisit sampai 10 persen. Norwegia 5 persen, Brasil 10 persen dari PDB,” kata Rizal.

 

Rasio Utang Rendah

Banner Infografis Utang Indonesia
Utang Indonesia demi pembangunan (Liputan6.com/Abdillah)

Menurut Rizal, saat ini banyak pihak melihat utang dari nominalnya saja.

“Ini cara pandang yang sesat, tidak melihat utang dari progresivitas dan kapasitas ekonomi. Ini seperti anak SD melihat utang ayahnya atau utang perusahaan ayahnya. Kaget-kaget dia. Jadi, ukurannya adalah PDB,” tegas dia.

Rizal mengatakan rasio utang tertinggi atas PDB pernah terjadi di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nilai utang pemerintah saat itu sebesar Rp 1.232,8 triliun dengan rasionya menjadi 88,7 persen terhadap PDB.

“Sudah sebesar 88,7 persen terhadap PDB, toh juga tidak seribut zaman Pak Jokowi yang hanya 27 persen atas PDB. Setelah masa itu, rasio utang pemerintah atas PDB mengalami tren penurunan. Sampai saat ini masih di bawah 30 persen. Rasio utang saat Pak Harto lengser sebesar 57,7 persen dari PDB, dilanjutkan zaman Pak Habibie menjadi 85,4 persen atas PDB. Bandingkan dengan saat ini yang hanya 27 persen,” tukas dia. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya