Liputan6.com, Jakarta Kerja sama penyelenggara financial technology (fintech) dengan perbankan dalam bentuk channeling telah berjalan. Fintech kerap menjadi perpanjangan tangan perbankan untuk menggapai pasar kredit mikro.
Namun, kerjasama saling menguntungkan ini dinilai masih belum sepenuhnya maksimal berjalan. Salah satunya menyangkut aspek legal, yakni izin penuh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sampai saat ini, baru satu perusahaan fintech yang sudah mendapat izin penuh OJK.
Baca Juga
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan, aspek legal berupa izin penuh untuk suatu penyelenggara fintech, menjadi catatan pengawas perbankan demi memitigasi risiko.
Advertisement
Menurutnya, kehati-hatian terhadap izin ini menjadi penting, mengingat industri fintech baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir, sehingga rekam jejaknya masih minim.
“Perbankan akan lebih mudah memberikan kerja sama kalau izin penuh fintech sudah diperoleh. Karena itu salah satu aspek pengurangan risiko, yakni aspek legal,” jelas dia seperti mengutip Antara, Rabu (5/9/2018).
Legalitas yang jelas dari otoritas dinilainya menjadi aspek utama selain, aspek lain yang menjadi pertimbangan perbankan bekerja sama dengan fintech, yakni aspek komersial, prospek, hingga rekam jejak.
“Kan bisa saja seperti kemarin, sudah terdaftar tahu-tahunya status terdaftarnya batal bahkan dicabut oleh OJK. Itu akan jadi kendala bank kalau mau bekerja sama dengan mereka dalam bentuk apapun. Jadi, perlu kehati-hatian dari manajemen risiko bank tersebut,” tutur dia.
Terbaru pada 2 September, OJK baru kembali mencabut status terdaftar untuk 5 penyelenggara fintech. Kelimanya yakni Tunaiku, Dynamic Credit, Relasi, Karapoto, dan Pinjamwiwin.
Pencabutan status terdaftar dilakukan karena kelima penyelenggara fintech tersebut ketahuan mengganti jajaran pemegang sahamnya tanpa seizin otoritas. Untuk diketahui, per Agustus 2018, jumlah penyelenggara fintech terdaftar OJK tercatat sebanyak 61 perusahaan. Namun, baru satu di antaranya yang memperoleh izin penuh.
David mengakui, pencabutan izin 5 penyelenggara fintech tersebut akan menambah kehati-hatian perbankan dalam bekerja sama dengan fintech. Padahal, kerja sama perbankan dan fintech bisa menjadi simbiosis mutualisme karena perbankan juga kadang membutuhkan sinergi dengan perusahaan-perusahaan fintech.
“Ada beberapa segmen pasar yang sulit dipenetrasi oleh bank. Itu bisa dengan mudah dilakukan via fintech,” ujar David.
Dia memaparkan, kerja sama yang bisa dilakukan perbankan dengan fintech sebenarnya bisa dalam tiga bentuk. Tidak hanya channeling dalam penyaluran dana, tapi kolaborasi juga bisa dilakukan dengan penanaman modal oleh perbankan, hingga pemberian utang kepada fintech.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi sebelumnya menyatakan masalah perizinan ini terkait untuk membuat iklim usaha fintech yang seimbang.
Menurutnya, hak dan kewajiban penyelenggara fintech dengan status terdaftar maupun berizin tidaklah berbeda, kecuali dalam hal pencabutan izin.
OJK memiliki kewenangan untuk segera mencabut tanda terdaftar penyelenggara fintech yang melanggar aturan tanpa terlebih dahulu memberi peringatan tertulis.
Hak pencabutan status terdaftar atas dasar pertimbangan OJK ini bahkan tertuang dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016. Namun, jika perusahaan fintech sudah menyandang status berizin penuh, tak semudah itu OJK bisa melakukan pencabutan izin.
“Bisa kami lakukan pencabutan izin. Tetapi ketika kita mencabut izin, karena ini izin permanen, implikasi hukumnya jauh lebih luas,” ungkapnya, beberapa waktu lalu.
Penyelenggara Fintech
Direktur Amartha Mikro Fintek Aria Widyanto mengakui jika perusahaan belum memperoleg status berizin penuh dari OJK. Namun ini tidak benar-benar membuat mereka kehilangan peluang bekerja sama dengan perbankan.
Sejauh ini, Amartha sudah mampu menjalin kerja sama dengan 20 BPR hingga kolaborasi dengan Bank Mandiri untuk menyalurkan dana dengan plafon Rp 50 miliar—Rp 100 miliar hingga kuartal I-2019.
“Amartha sudah bekerja sama dengan Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia, dan tidak ada concern tersebut,” jelas dia, Selasa (4/9).
Hanya saja berdasarkan pengalamannya, Aria mengakui, upayanya meggandeng perbankan, kerap teradang regulasi yang belum spesifik tentang channeling perbankan ini.
Alhasil, pengawas perbankan kerap ragu untuk menjalin kerja sama channeling dengan fintech. "Mungkin dari para pengawas perbankannya itu belum terlalu well informed. Belum ada mekanisme yang formal dari OJK, " tuturnya.
Amartha sendiri merupakan penyelenggara fintech yang masih berstatus terdaftar di OJK. Saat ini, fintech ini masih menunggu pemberian status izin penuh yang seharusnya sudah di tangan sejak Mei 2018 karena status terdaftarnya dimulai dari Mei 2017.
“Kita sudah memasukkan semua dokumen, ada grace period dari OJK karena kan PR-nya bukan hanya di kita, tapi di OJK-nya sendiri untuk menganalisis dokumen dan macam-macam,” ungkapnya.
Meskipun dari izin penuh dianggap sebagai suatu pertimbangan bank berkerjasama dengan fintech, Direktur Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Ajisatria Suleiman pun yakin, bisnis fintech akan tetap berjalan sekalipun penyelenggara baru berstatus terdaftar. Pasalnya, ia yakin tidak ada perbedaan hak dan kewajiban terkait dua status yang berbeda tersebut.
Advertisement