Ini Alasan Rupiah Kembali Melemah terhadap Dolar AS

Mengutip kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Selasa (2/10/2018), rupiah berada di posisi 14.988 per dolar AS.

oleh Agustina Melani diperbarui 02 Okt 2018, 16:34 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2018, 16:34 WIB
Rupiah-Melemah-Tipis-Atas-Dolar
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Selasa pekan ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa pekan ini. Sejumlah sentimen eksternal dinilai menekan laju nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Mengutip kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Selasa (2/10/2018), rupiah berada di posisi 14.988 per dolar AS atau melemah 83 poin dari posisi 14.905 per dolar AS pada 1 Oktober 2018.

Mengutip laman Bloomberg, rupiah dibuka melemah ke posisi 14.945 per dolar AS dari penutupan perdagangan kemarin di posisi 14.911 per dolar AS. Pada perdagangan Selasa sore, rupiah berada di posisi 15.048 per dolar AS. Sepanjang Selasa pekan ini, rupiah bergerak di posisi 14.945-15.049 per dolar AS.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, ada sejumlah faktor eksternal dan internal pengaruhi nilai tukar rupiah. Dari eksternal, dolar AS cenderung menguat terhadap mata uang. Tak hanya dolar AS, tetapi juga imbal hasil surat berharga AS yang menguat.

Josua menilai, penguatan dolar AS juga dipicu ada kesepakatan dagang antara Meksiko dan Kanada. Akan tetapi, isu perang dagang dengan China masih berlangsung. Pemerintah AS diperkirakan masih menaikkan tarif impor barang China. Hal itu memicu kekhawatiran pelaku pasar.

"Perang dagang dengan China masih isu utama. Isyarat AS akan terus naikkan tarif impor barang China buat kekhawatiran pasar. Tak hanya dolar AS menguat tetapi juga yen. Ini pelaku pasar hindari aset negara berkembang back to safe haven," ujar Josua saat dihubungi Liputan6.com.

Selain itu, tren harga minyak dunia menguat juga jadi katalis negatif. Harga minyak Brent sentuh posisi USD 84,98 per barel pada awal pekan. Sedangkan harga minyak berjangka AS menyentuh posisi USD 75,3 per barel, tertinggi sejak November 2014.

"Harga minyak menguat membuat dampak negatif terhadap negara pengimpor minyak karena dapat perlebar defisit neraca perdagangan," kata Josua.

Harga minyak menguat membuat investor asing khawatir terhadap defisit transaksi berjalan terutama bagi negara pengimpor minyak termasuk Indonesia. Meski demikian, Josua optimistis defisit transaksi berjalan masih di bawah tiga persen hingga akhir 2018.

Berdasarkan data BI, defisit transaksi berjalan tercatat USD 8 miliar atau 3,04 persen dari PDB pada kuartal II 2018. Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit kuartal sebelumnya USD 5,7 miliar atau 2,21 persen dari PDB. Hingga semester I 2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.

"Secara rata-rata 2,6 persen. Faktor musiman pada kuartal II. Semestinya kuartal III-IV terutama kuartal IV akan landai. Faktor dari dampak kebijakan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, maka defisit neraca transaksi berjalan 2,5 persen-2,7 persen pada 2018. Defisit transaksi berjalan tiga persen terhadap PDB kecil kemungkinan," kata Josua.

Ia menambahkan, sentimen eksternal mendominasi itu mendorong pelaku pasar keluar dari pasar keuangan. Hal tersebut juga mendorong imbal hasil surat utang negara (SUN) sentuh posisi 8,09 persen.

Namun, menurut Josua, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS tidak sendirian. Mata uang di Asia pun merosot terhadap dolar AS. "Rupiah tidak sendirian. Mata uang Korea Selatan won, baht Thailand, dan peso Filipina (melemah terhadap dolar AS-red)," kata dia.

 

 

 

* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.

 

 

Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.

Terus Melemah, Rupiah Tembus 15.025 per Dolar AS

IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami tekanan yang cukup dalam pada perdagangan Selasa ini. Pelemahan rupiah hingga tembus 15.025 per dolar AS.

Mengutip Bloomberg, Selasa 2 Oktober 2018, rupiah berada di posisi 15.025 per dolar AS pada siang ini, melemah dalam jika dibandingkan dengan pembukaan perdagangan yang ada di angka 14.945 per dolar AS.

Rupiah diperdagangkan di posisi yang lebar yaitu 14.945 per dolar AS hingga 15.025 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 10,84 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok 14.988 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.905 per dolar AS.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan fluktuasi rupiah dibayangi kekhawatiran pelaku pasar uang terhadap aktivitas ekonomi China yang cenderung melambat.

"Ekonomi China yang melambat dikhawatirkan berdampak ke ekonomi kawasan sekitar," katanya seperti dikutip dari Antara.

Ekonom Samuel Sekuritas, Ahmad Mikail mengatakan, sentimen tercapainya kesepakatan baru Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) antara AS, Meksiko, dan Kanada dapat mendorong permintaan dolar AS sehingga menahan laju rupiah.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya