Rupiah Melemah Dalam, Hampir Sentuh 15.000 per Dolar AS

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.945 hingga 14.997 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 02 Okt 2018, 11:16 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2018, 11:16 WIB
Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Selasa pekan ini. Kesepakatan baru NAFTA kuatkan dolar AS. 

Mengutip Bloomberg, Selasa (2/10/2018), nilai tukar rupiah dibuka di angka 14.945 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.910 per dolar AS.

Pada pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.945 hingga 14.997 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 10,64 persen.

Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.988 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.905 per dolar AS.

"Deflasi yang terjadi pada September kemungkinan menjaga pergerakan rupiah," kata Ekonom Samuel Sekuritas, Ahmad Mikail di Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada September 2018, terjadi deflasi sebesar 0,18 persen. Dengan demikian, tingkat inflasi tahun kalender Januari-September 2018 sebesar 1,94 persen, dan inflasi tahun ke tahun (yoy) mencapai 2,88 persen.

Menurut dia, inflasi yang rendah menunjukkan ekonomi Indonesia masih cukup solid untuk menyerap risiko akibat pelemahan rupiah terhadap dolar AS sepanjang 2018.

Kendati demikian, kata dia, sentimen tercapainya kesepakatan baru Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) antara AS, Meksiko, dan Kanada dapat mendorong permintaan dolar AS sehingga menahan laju rupiah.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan fluktuasi rupiah dibayangi kekhawatiran pelaku pasar uang terhadap aktivitas ekonomi Tiongkok yang cenderung melambat.

"Ekonomi China yang melambat dikhawatirkan berdampak ke ekonomi kawasan sekitar," katanya.

* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.

 

 

Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rupiah Melemah 8,97 Persen hingga September 2018

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah masih mengalami depresiasi, tetapi dengan volatilitas yang masih terjaga.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan depresiasi rupiah sejalan dengan mata uang negara peers akibat berlanjutnya penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang luas.

"Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,05 persen pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level Rp 14.905 per dolar AS," kata Perry pada Kamis, 27 September 2018. 

Dengan perkembangan ini, dia menuturkan, secara year to date (ytd) hingga 26 September 2018, rupiah terdepresiasi 8,97 persen atau lebih rendah dari India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki.

"Ke depan, Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," ujar Ferry.

Kebijakan tersebut, kata Perry, akan diarahkan untuk menjaga volatilitas nilai tukar rupiah serta kecukupan likuiditas di pasar.

"Sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya