3 Faktor yang Bikin Tekanan Rupiah Lebih Rendah pada 2019

Bank Indonesia (BI) optimistis tekanan pada nilai tukar rupiah akan melemah pada 2019.

oleh Merdeka.com diperbarui 27 Sep 2018, 17:45 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2018, 17:45 WIB
Rupiah-Melemah-Tipis-Atas-Dolar
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Selasa pekan ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) optimistis tekanan pada nilai tukar rupiah akan melemah pada 2019.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan tekanan-tekanan yang saat ini terjadi pada nilai tukar rupiah akan lebih rendah pada  2019.

Dia menjelaskan, optimisme tersebut tidak lepas dari beberapa faktor. Faktor pertama adalah kepastian akan terjadinya normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju.

"Mulai tahun depan sejumlah Bank Sentral lain itu juga mulai merencanakan atau bahkan mulai mengimplementasikan normalisasi kebijakan moneternya, khususnya di paruh kedua tahun depan, Eropa , Jepang atau yang lain sejumlah Bank Sentral negara maju," kata Perry di kantornya, Kamis (27/9/2018).

Hal tersebut dipastikan akan membuat dolar Amerika Serikat (AS) tidak seperkasa pada 2018. Beberapa mata uang lain akan kembali menguat dan menyaingi mata uang negara Paman Sam tersebut.

"Oleh karena itu yang terjadi normalisasi kebijakan moneter nya bukan hanya Amerika Serikat, tetapi juga Bank Sentral lain sehingga ini juga akan mengurangi kekuatan dolar AS. Sekarang dolar AS paling kuat. Tahun depan akan ada saingannya oleh mata uang - mata uang lain," ujar Perry.

Faktor selanjutnya adalah perubahan perilaku investor global. Investor akan mulai menaruh kembali dana yang sempat ditarik dari negara berkembang.

Sebelumnya, investor global menarik dana dari negara-negara emerging market sebagai respons dari ketidakpastian global serta keagresifan The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya.

"Ini saja sudah mulai mereka sedikit-sedikit kembali berinvestasi di emerging market. Mulai tahun depan, itu perilaku yang seperti ini akan semakin kuat dan karena itu juga memberikan faktor positif bagi kembalinya arus modal asing dari global ke emerging market termasuk Indonesia," tutur Perry.

Faktor terakhir adalah faktor domestik atau internal. Diperkirakan pada tahun depan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang saat ini tengah membengkak akan kembali normal.

"Kami sampaikan tekanan dari neraca pembayaran kan jauh lebih rendah, 2,5 persen terhadap PDB sehingga tentu saja kebutuhan valasnya dalam negeri juga akan lebih rendah. Berbagai faktor ini kenapa waktu itu di DPR kami sampaikan kami perkirakan 2019 itu tekanan terhadap rupiah nya akan lebih rendah," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka

 

Stabilkan Rupiah, Ekonom Senior UI Usul BI Kombinasikan Kebijakan

(Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)
Dekan FE UI Ari Kuncoro (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Sebelumnya, untuk atasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperlukan bauran kebijakan. Jadi tidak cukup hanya menaikkan suku bunga acuan.

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro menyampaikan hal itu saat ditemui pada Selasa 18 September 2018.

"Jadi kalau dilihat dari efektifnya kalau seperti ini, perang dagang cara menghadapinya cadangan devisa dulu kemudian tingkat bunga digunakan untuk menaikkan ekpektasi bahwa BI ada di pasar. Dua-duanya harus dipakai," kata dia saat ditemui di Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Selasa 18 September 2018.

Oleh karena itu, kebijakan Bank Indonesia untuk menaikan suku bunga pun tidak akan cukup manjur untuk mengatasi depresiasi nilai tukar rupiah.

Dia menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini. Salah satunya adalah ancaman perang dagang yang mengganggu harapan pasar.

"Kalau tingkat bunga sendiri itu tidak efektif karena gangguannya itu sesuatu yang lain, sesuatu tidak berhubungan dengan tingkat bunga. Kalau di Amerika Serikat naik (suku bunga), dilawan dengan tingkat bunga, itu lawannya persis ya. Ini gangguan ekspektasi yang terjadi akibat Presiden Trump akan melakukan perang dagang yang baru," ujar dia.

"Ini harus ditunjukkan dengan rupiah kita masih bisa bertahan. Ada kebijakan lain yang mendukung. Itu membuat. 'Nanti dulu. Kita (investor) mau keluar dari Indonesia waktu kembali jangan rupiah menguat. Kalau begitu jangan semuanya ditarik'. Jadi mencoba mengatur ekpektasi supaya investor luar negeri tetap fokus bahwa Indonesia is the best," tambah dia.

Bank Indonesia (BI) pun perlu mengkombinasikan strategi menaikan suku bunga dengan berbagai kebijakan, seperti pengelolaan cadangan devisa dan intervensi pasar. Kombinasi kebijakan ini diharapkan dapat meyakinkan pelaku pasar perekonomian Indonesia masih kondusif.

"Memang ada negara lain yang lebih baik, tapi yang jelek juga lebih banyak. Kalau dijejerkan wah kita masih lumayan. Jadi kalau kembali ke pola rasional melihat portofolio, return-nya segala wah Indonesia kita masukan lagi,” ujar dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya