Demi Selamatkan Bumi, Miliarder Ini Donasi Rp 15 Triliun

Miliarder asal Swiss menyiapkan dana Rp 15 triliun untuk menyelamatkan Bumi.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 02 Nov 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2018, 21:00 WIB
Mendaki dan Pendaki
Ilustrasi Foto Pendaki dan Mendaki Gunung (iStockphoto)

Liputan6.com, Cheyenne - Miliarder Hansjörg Wyss asal Swiss bertekad menyelamatkan planet bumi dari kepunahan hewan liar dan perubahan iklim. Demi misi tersebut, ia menyiapkan USD 1 miliar atau Rp 15 triliun (1 USD = Rp 15.107).

Dilansir dari The New York Times, Wyss khawatir mengenai alam yang semakin terpojok akibat industri yang bersifat ekstraktif. Ia pun bertekad agar alam liar bisa dikelola publik, bukan swasta.

"Ini adalah gagasan bahwa alam liar dan air lebih baik dikonservasikan bukan di pihak swasta, (lalu) digembok di balik gerbang, melainkan sebagai taman nasional, tempat berlindung hewan liar dan cagar lautan, selamanya terbuka bagi semua orang untuk merasakan dan mengeksplorasi," tulis Wyss yang saat ini tinggal di negara bagian Wyoming.

Miliarder itu berkata, kepercayaan demikian sudah ada pada dirinya sejak ia muda, ketika ia pertama kali mendaki di Rocky Mountains, Colorado.

Lebih lanjut, Wyss mendengarkan saran para ilmuwan bahwa setengah dari planet bumi perlu dilindungi agar mencegah kepunahan tumbuhan dan makhluk liar. Namun, saat ini baru 15 persen tanah di dunia dan 7 persen samudera yang dilidungi.

Masyarakat, filantropis, pebisnis, dan pemimpin pemerintahan, menurut Wyss, harusnya khawatir melihat sedikitnya alam di planet yang dilindungi. Ia pun menegaskan untuk menonasi USD 1 miliar untuk menangani isu tersebut.

"Saya memutuskan untuk mendonasikan USD 1 miliar selama satu dekade ke depan untuk mempercepat konservasi tanah dan samudera di seluruh dunia dengan tujuan melindungi 30 persen permukaan planet pada 2030," ujarnya.

Berdasarkan informasi Forbes, kekayaan Wyss berasal dari penjualan perusahaan manufaktur alat medis Syntheskepada Johnson & Johnson pada 2012 lalu. Sang miliarder pun mendukung dua universitas di Zurich untuk mempercepat penelitian medis dengan dana sebesar USD 120 juta (Rp 1,8 triliun).

17,6 Miliar Ton Plastik di Buang ke Laut Tiap Tahun

Sampah Plastik
Seorang pria memancing di pantai Laut Tengah di Beirut, Lebanon di antara berbagai sampah plastik. (AP)

Organisasi konservasi laut global Oceana mendukung sepenuhnya upaya peningkatan transparansi perikanan dunia dan pengurangan produksi plastik pada pertemuan Our Ocean Conference yang dilaksanakan pada 29-30 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali.

Pada keterangan resminya di Nusa Dua, Chief Policy Officer Oceana, Jacqueline Savitz menuturkan, saat ini lautan kita menerima ancaman yang harus kita hadapi, yaitu sampah plastik.

"Setidaknya ada 17,6 miliar ton sampah plastik masuk ke lautan tiap tahunnya," kata Jacqueline, Minggu, 28 Oktober 2018. Sampah plastik, ia melanjutkan, tak hanya mengancam secara langsung lautan Indonesia, tapi juga hampir seluruh negara di dunia.

"Banyak perusahaan yang terus-menerus menggunakan kemasan plastik menghancurkan tempat-tempat yang indah seperti Bali. Kita telah membuang satu truk sampah plastik ke lautan setiap menitnya," ujarnya.

Katanya, mendaur ulang dan pengunaan kembali (reuse) sampah plastik bukan merupakan jalan keluar dari masalah ini.

Yang harus dilakukan adalah mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi jumlah plastik yang mereka produksi dan mencari solusi alternatif untuk mengirimkan produk mereka ke tempat yang tak akan mencemari lingkungan, khususnya laut.

Yang harus dilakukan adalah mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengurangi jumlah plastik yang mereka produksi dan mencari solusi alternatif untuk mengirimkan produk mereka ke tempat yang tak akan mencemari lingkungan, khususnya laut.

Chief Executive Officer Oceana, Andrew Sharpless mengungkap fakta lain dari laut kita. Ia mengatakan, sekitar sepertiga dari stok ikan dunia telah ditangkap secara berlebihan. "Bajak laut modern’ terus menjarah lautan kita, mengancam negara-negara yang bergantung pada makanan laut sebagai sumber utama protein mereka," kata Andrew di tempat sama.

Metode penangkapan ikan yang merusak seperti pukat harimau (bottom trawling) terus merusak karang-karang yang sudah berumur lama dan spesies di bawahnya. "Nelayan terus membuang makanan laut dan satwa liar yang secara tidak sengaja ditangkap digunakan sebagai umpan," papar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya