BI Bakal Pertahankan Suku Bunga Acuan 5,75 Persen 15 November 2018

Bank Indonesia (BI) diprediksi mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-day repo rate di 5,75 persen.

oleh Agustina Melani diperbarui 15 Nov 2018, 10:45 WIB
Diterbitkan 15 Nov 2018, 10:45 WIB
Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) diprediksi mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-day repo rate di 5,75 persen. Hal itu seiring sentimen perang dagang mereda dan rupiah menguat terhadap dolar AS.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, BI akan mempertahankan suku bunga acuan tersebut mengingat kondisi global positif. Salah satunya dari harga minyak dunia yang tertekan. Kemudian sentimen perang dagang mereda sehingga membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat.

Sebelumnya pada Oktober 2018, kurs tengah BI sempat berada di posisi 15.253 per dolar AS pada 11 Oktober 2018, akhirnya menguat ke posisi 14.755 per dolar AS pada 14 November 2018.

Sedangkan faktor internal lainnya, yang mendukung langkah BI yaitu inflasi. Josua melihat inflasi terkendali juga akan menjadi pertimbangan BI. Tercatat inflasi Oktober 2018 sebesar 0,28 persen. Inflasi Januari-Oktober 2018 sebesar 2,22 persen dan inflasi tahun kalender 3,16 persen.

“Suku bunga BI masih bisa bertahan 5,75 persen, karena sentimennya membaik,” kata Josua saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (15/11/2018).

Defisit transaksi berjalan melebar USD 8,8 miliar atau 3,37 persen dari produk domestik bruto (PDB) memang jadi sentimen kurang baik. Meski demikian, menurut Josua, defisit transaksi berjalan hingga kuartal III 2018 tercatat 2,86 persen dari PDB. Hal itu masih berada dalam batas aman.

Namun, memang pertemuan G20 juga jadi sorotan. Apalagi bila negosiasi perang dagang belum ada solusi. Josua menuturkan, pada pertemuan November 2018, the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS) juga cenderung agresif meski pertahankan suku bunga acuan. "Tetap normalisasi (kenaikan suku bunga-red) tahun depan," ujar Josua.

Josua menuturkan, faktor the Federal Reserve juga menjadi perhatian tetapi sentimen tersebut dapat dikelola baik. Apalagi aliran dana investor asing juga sudah mulai masuk ke pasar keuangan Indonesia.

Ditambah cadangan devisa juga masih kuat. Hal tersebut dapat memberikan kepercayaan di pasar. Oleh karena itu, Josua perkirakan BI dapat mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen hingga akhir 2018.

"RDG BI biasanya sesudah the Fed. BI butuh informasi komprehensif mengenai chance the Fed ke depan apakah lebih hawkish. Desember diperkirakan ada kenaikan suku bunga. Tapi the Fed tidak terlalu hawkish. Kemungkinan suku bunga 5,75 persen dipertahankan,” kata dia.

Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) gelar rapat dewan gubernur selama dua hari pada 14-15 November 2018.

 

Ini Pendorong Rupiah Menguat versi Bank Indonesia

Ilustrasi Bank Indonesia (2)
Ilustrasi Bank Indonesia

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terus menguat setelah sebelumnya berada di posisi 15.000-an per Dolar Amerika Serikat (AS). Mengutip data Bloomberg, rupiah pagi ini dibuka 14.645 per Dolar AS, sedikit melemah dibanding penutupan kemarin 14.539 per Dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, meski rupiah sempat dibuka melemah tipis namun trennya cukup menguat dalam beberapa waktu terakhir ini. Penguatan nilai tukar rupiah dipicu faktor domestik maupun luar negeri.

"Beberapa faktor tentu saja mendorong stabilitas maupun penguatan dari nilai tukar rupiah. Baik faktor dalam negeri maupun faktor luar negeri," kata dia di Jakarta, Jumat 9 November 2018.

Perry mengungkapkan, faktor pendorong rupiah menguat dari dalam negeri adalah seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus membaik. Apalagi inflasi juga terus terkendali di bawah tiga persen.

Selain itu, instrumen BI mengenai aturan transaksi pasar Non Deliverable Forward (NDF) di dalam negeri atau Domestic Non Delivarable Forward (DNDF) juga diyakini menjadi faktor pendorong.

"Pemantauan kami terkait dengan DNDF itu berkembang cukap baik supply dan demand juga cukup berkembang, sehingga memang ini menambah kedalaman pasar valas dalam negeri," tutur dia.

Bahkan, sejak dikeluarkan dan pemberlakuan DNDF pada 1 september 2018 lalu, volumenya tercatat mencapai Rp 115 juta USD. "Dan supply demand juga bergerak sangat seimbang dan membaik dan apa yang kita liat ini memang mekanisme pasar," jelas dia.

Sementara itu, faktor luar negeri yang mendorong rupiah menguat adalah meredanya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.

"Baik faktor global dan maupun faktor domestik tadi yang memang mendorong nilai tukar rupiah bergerak menguat dan stabil. Sekali lagi ini adalah sesuai dengan mekanisme pasar," dia menandaskan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya