Rendahnya Produktivitas Tebu Bikin Impor Gula Melambung

Menekan impor gula dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar.

oleh Arthur Gideon diperbarui 20 Jan 2019, 06:38 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2019, 06:38 WIB
Geliat Petani Tebu di Tengah Ekspansi Gula Impor
Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Bulog hanya membeli sekitar 100 ribu ton, sehingga sebagian petani terpaksa menjual gula dengan harga di bawah Rp 9.000 per Kg. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Rendahnya produktivitas tebu memicu peningkatan impor gula. Saat ini, harga gula lokal tiga kali lebih mahal dibandingkan harga gula di pasar internasional. Tingginya harga gula lokal mengindikasikan adanya biaya produksi yang tinggi di tingkat produsen lokal.

Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektar di 2017. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang sebesar 68,94 ton per hektar dan India yang sebesar 70,02 ton per hektar dalam periode yang sama.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua. Pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi. Belum lagi mempertimbangkan kualitas tebu yang ditanam yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan iklim lokal.

“Menekan impor gula bukan pekerjaan mudah. Menekan impor gula dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar. Tentunya dengan memiliki komoditas gula yang terjangkau dan tersedia secara lokal, baik produsen maupun konsumen sama-sama beruntung,” jelasnya pada Minggu (20/1/2019).

Berdasarkan data USDA dan BPS pada 2009-2018, harga gula yang beredar di pasaran (gula kristal putih) menunjukkan perbedaan harga dimana harga produk domestik hampir tiga kali lebih mahal dari harga internasional. Dengan kondisi ini, upaya menekan gula impor tentunya dapat berpotensi mengurangi peredaran gula di pasar, yang pada akhirnya bisa meningkatkan harga menjadi jauh lebih mahal lagi. Pada akhirnya, konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian.

“Mempertimbangkan penekanan impor gula bukan merupakan hal yang salah, namun sebaiknya yang patut diutamakan adalah peningkatan daya saing pabrik gula Indonesia dan kebijakan pemerintah yang mendorong modernisasi pabrik gula dapat menjadi salah satu langkah awal yang patut dipertimbangkan untuk menekan harga gula,” tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Revitalisasi Pabrik Gula Terhambat Keterbatasan Lahan Tebu

Geliat Petani Tebu di Tengah Ekspansi Gula Impor
Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Petani tebu menuntut pemerintah segera menghentikan impor gula karena menyebabkan gula lokal tidak laku sehingga merugikan mereka. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, upaya revitalisasi pabrik gula di Indonesia dinilai masih terhambat oleh lahan tebu yang makin terbatas. Keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebu saat ini tidak homogen sehingga terdapat tempat yang kelebihan pasokan, namun juga ada yang kekurangan.

""Secara umum, kekurangan bahan baku karena terjadi penurunan luas area tanam," kata Peneliti Agro Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor Agus Pakpahan seperti mengutip Antara, Jumat (18/1/2019)

PT Perkebunan Nusantara III (Persero) yang juga sebagai Holding BUMN Perkebunan tengah fokus dalam upaya meningkatkan produktifitas dan kualitas gula, yang menjadi salah satu produk andalan perusahaan.

Upaya yang dilakukan dengan meningkatkan efisiensi pabrik-pabrik gula miliknya. Efisiensi dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas Pabrik Gula (PG) dan mengurangi PG yang dianggap sudah tak efisien.

Direktur Utama PTPN III Doly Pulungan mengatakan, dalam rangka revitalisasi PG,  dikeluarkan anggaran sekitar Rp 4,7 triliun sejak 2016. 

"Jadi kita regrouping PG ini dan kita tigkatkan kapasitas dan kualitas produksinya. Sejak 2016 sudah Rp 4,7 triliun investasi yang kita keluarkan dan sampai 2022 nanti total kita butuh Rp 13 triliun," ungkap dia di kantornya, Kamis (6/12/2018).

Seperti diketahui, Holding BUMN Perkebunan ini memiliki roadmap program revitalisasi PG akan selesai pada 2022. Dengan demikian, ditargetkan produksi gula PTPN nanti akan menjadi 1,4 juta ton per tahun dari saat ini hanya sekitar 850 ribu ton per tahun.

Sementara EVP Gula dan Tanaman Semusim PTPN III, Aris Toharisman menjelaskan, sebesar Rp 4,7 triliun yang sudah dikeluarkan ini dialokasikan untuk revitalisasi 7 PG.

Dari 7 PG tersebut diantaranya PG Mojo di Sragen dan PG Rendeng di Kudus. Kedua PG tersebut memiliki kapasitas produksi masing-masing ditingkatkan dari 2.500 TCD menjadi 4.000 TCD.

Kemudian ada PG Gempolkrep di Mojokerto yang kapasitasnya 6.500 TCD ditingkatkan menjadi 10 ribu TCD.

"Yang kapasitas 10 ribu TCD ini akan kita integrasikan dengan pabrik etanol dan produk turunannya," tegas Aris.

Dia menuturkan, Rp 4,7 triliun diperoleh dari Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 3 triliun dan sisanya berasal dari kas perusahaan.

Sementara sisa investasi sekitar Rp 8,3 triliun akan diusahakan PTPN III dari pinjaman perbankan dan juga kas perusahaan.

PTPN III saat ini tengah merevitalisasi 32 PG. Kapasitas produksi 32 PG tersebut nantinya akan ditingkatkan menjadi minimal 4.000 TCD.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya