Pengembangan Program B20 Sawit Butuh Dukungan Pemda

Geliat ekonomi dari komoditas sawit masih bisa dirasakan hingga kini.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Feb 2019, 09:31 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2019, 09:31 WIB
(Foto:Liputan6.com/Ilyas I)
Peluncuran perluasan penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Liputan6.com, Jakarta Keberadaan perkebunan dan industri sawit sebagai industri padat karya dinilai telah menjadi solusi untuk mendorong peningkatan lapangan kerja dan membantu menekan impor BBM melalui program B20. Oleh sebab itu, butuh dukungan pemerintah daerah (pemda) dalam pengembangan sektor ini.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan, Achmad Mangga Barani mencontohkan, Kalimantan Barat sebagai salah satu sentra perkebunan sawit terbesar mampu menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah dalam jumlah besar.

Keberadaan sawit selama puluhan tahun di provinsi tersebut telah menjadi kegiatan ekonomi yang mampu menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru di perdesaan.

"Sejak awal, perkebunan sawit di Kalbar terpusat di daerah-daerah terpencil (remote area) seperti Sintang dan Ketapang. Sebagian besar badan jalan di Kalbar, mulai dari jalan desa, kecamatan hingga provinsi dibangun perkebunan dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). ‎Hanya saja, sejak tahun 1990, ketergantungan terhadap HPH sudah tidak ada, karena kayu habis. Sawit tetap menjadi komoditas andalan yang mampu menggerakan perekonomian Kalbar,” ujar dia di Jakarta, Jumat (22/2/2019).

Menurut dia, geliat ekonomi dari komoditas sawit masih bisa dirasakan hingga kini. Dalam luasan 6.000-7.000 hektare kebun sawit, berdiri satu pabrik yang mampu mengolah 600 ton sawit per hari.

”Ini menjadi pendapatan yang luar biasa bagi ekonomi Kalbar," kata dia.

Selain itu, sawit juga berkontribusi yang besar dalam pembangunan daerah yang berasal dari sumbangan pajak seperti PBB dan PPN 21 yang dipungut dari pekerja industri sawit.

"‎Pemasukan terbesar memang diperoleh pemerintah pusat. Devisa sawit bisa mencapai Rp 240 triliun per tahun dan itu dikembalikan dalam bentuk APBD ke daerah. Karena itu, dukungan Pemda, mulai di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan hingga perdesaan ini menjadi sangat penting,“ jelas dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta. Menurut dia,‎ pemerintah daerah harus mendorong industri sawit sejalan fokus pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi. Salah satu lewat penerapan mandatori B20 yang basisnya berasal dari sawit.

“Bahkan, kami melihat rencana pengembangan sampai B30 hingga B50 merupakan strategi penting dalam meningkatkan kedaulatan energi," ungkap dia.

Arif mengungkapkan keberhasilan B20 mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor migas dan membantu Indonesia dalam mengurangi tingginya defisit neraca perdagangan. Hal tersebut lantaran selama ini ketergantungan terhadap impor migas masih tinggi.

"Kalau kita ingin mengembangkan kedaulatan energi, kebutuhan energi itu harus mampu kita penuhi sendiri. Sumber berasal dari energi fosil dan pengembangan bioenergi yang berasal dari perkebunan sawit di daerah,” tandas dia.

 

Program B100 Capres Jokowi Bisa Diterapkan, Dengan Syarat Ini

Mangkir Mencampur Biodiesel dengan Solar, Siap Kena Denda
Pemerintah ingin menegakkan peraturan lebih ketat agar industri melaksanakan amanat tersebut.
Wacana Calon Presiden (Capres) Joko Widodo (Jokowi) menerapkan program campuran 100 persen biodiesel (B100) untuk menggantikan solar dinilai dapat diterapkan. Jokowi mewacanakan hal ini saat berlangsungnya Debat Capres Kedua yang berlangsung Minggu (17/2/2019).
 
Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan,‎ B100 bisa‎ diterapkan jika pemerintah konsisten dalam mengeluarkan kebijakan untuk mendukung program tersebut, sehingga dapat meyakinkan pelaku dan investor dalam penyediaan fasilitas penunjang pelaksanaan B100.
 
‎"Kalau B100 sangat bagus sekali, sisi kebijakan yang konsisten lalu didorong terus jangan sampai ada hambatan," kata Faisal, saat berbincang dengan Liputan6.com‎, di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
 
‎Menurut Faisal,  ada syarat yang harus dilakukan, di antaranya menyelesaikan permasalahan teknis dari sisi hulu dan hilir.‎ Untuk permasalahan di hulu yang harus diselesaikan bukan pada pasokan miyak‎ sawit (crude palm oil/CPO) yang menjadi bahan baku, tetapi produk turunan berupa Fame yang akan dicampurkan ke solar.
 
"Belum ada penyediaan secara kecepatan dan kapasitas yang sesuai," ujarnya.
  
Faisal melanjutkan, untuk dukungan di ‎sisi hilir berupa industri otomotif, dalam investasi menciptakan mesin yang bisa menyerap bahan bakar dengan kadar B100.
 
 "Kepastian ini penting bagi pengusaha, karena mereka harus investasi besar dananya butuh kepastian kebijakan," tandasnya.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya