S&P Dongkrak Peringkat Utang Indonesia Jadi BBB

Lembaga pemeringkat internasional S&P global rating menaikkan peringkat kredit utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan prospek stabil.

oleh Agustina Melani diperbarui 31 Mei 2019, 13:40 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2019, 13:40 WIB
BI Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 5,4 Persen di 2019
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 akan berada di kisaran 5-5,4 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's/ S&P global rating menaikkan peringkat kredit utang jangka panjang Indonesia atau sovereign credit rating Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan outlook atau prospek stabil pada Jumat (31/5/2019).

Selain itu, S&P juga menaikkan peringkat utang Indonesia jangka pendek menjadi A-2 dari A-3.

Dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat pekan ini, kenaikan peringkat tersebut mencerminkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan dinamika kebijakan yang mendukung. Hal ini diharapkan berlanjut seiring terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Peringkat pada Indonesia terus didukung oleh utang pemerintah yang relatif rendah dan kinerja fiskal yang moderat,” tulis S&P Global Rating.

Faktor-faktor ini menyeimbangkan kelemahan terkait ekonomi Indonesia dengan masyarakat penghasilan menengah ke bawah dan capital adequacy ratio (CAR) yang moderat.

Selain itu, S&P menilai ekonomi Indonesia tumbuh lebih cepat dari negara-negara lainnya yang memiliki tingkat pendapatan yang sama.

Ini mencerminkan pembuatan kebijakan pemerintah telah efektif dalam menerapkan dan mempromosikan keuangan publik yang berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang.

Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita riil di Indonesia sebesar 4,1 persen, menurut S&P merupakan hal yang baik, berdasarkan rata-rata 10 tahun. Ini dibandingkan dengan rata-rata 2,2 persen di seluruh negara di tingkat global dengan tingkat pendapatan yang sama. Pencapaian pertumbuhan ekonomi ini di tengah lingkungan eksternal yang menantang selama beberapa tahun terakhir.

Selain itu, hasil pengumuman resmi menunjukkan kalau pemilihan umum (Pemilu) Indonesia baru-baru ini telah memberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mandat baru. Meski pun calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto juga terus membantah hasilnya.

Ini dengan Prabowo Subianto mengajukan pengaduan ke Mahkamah Konstitusi yang mungkin memerlukan peninjauan resmi atas hasilnya selama beberapa bulan mendatang.

Meski pun perselisihan dan sempat ada kericuhan menambah ketidakpastian di lingkungan politik Indonesia dalam waktu dekat, tapi diharapkan tidak berdampak terhadap kebijakan jangka panjang dan prospek ekonomi.

Lembaga politik di Indonesia juga umumnya stabil dan bebas dari tantangan terhadap legitimasinya.

Sementara itu, pemerintahan Joko Widodo menerapkan langkah-langkah kebijakan mendukung daya beli dan konsumsi jelang pemilihan umum hanya bersifat sementara. Diharapkan ada momentum reformasi seiring ada pemerintahan baru.

Adapun prospek yang stabil mencerminkan pandangan S&P mengenai lingkungan kebijakan yang konstruktif di Indonesia sehingga akan mendukung prospek pertumbuhannya di tahun-tahun mendatang, dan meningkatkan profil kredit yang lebih luas dari pemerintah.

S&P dapat menaikkan peringkat jangka panjang jika pengaturan fiskal membaik sehingga defisit pemerintah secara umum dan perubahan terkait utang bersih turun jauh di bawah 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama dua tahun ke depan.

"Sebaliknya, kami dalam menurunkan peringkat jika pertumbuhan ekonomi global melambat secara substansial selama dua tahun ke depan,” tulis S&P.

Indikasi tekanan pada peringkat itu adalah uang pemerintah dan defisit anggaran masing-masing melebihi 30 persen dan tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) secara berkelanjutan, atau biaya bunga yang lebihi 10 persen dari pendapatan pemerintah.

Indikasi pelemahan pengaturan eksternal Indonesia adalah likuiditas secara konsisten melebihi 100 persen. Kemunduran seperti itu dapat terjadi jika kondisi perdagangan Indonesia terus memburuk tanpa kompresi volume impor bersamaan dan pertumbuhan ekspor riil secara material di bawah harapan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Moody's Prediksi Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5 Persen pada 2019

Prediksi BI Soal Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Depan
Pekerja tengah mengerjakan proyek pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (15/12). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 mendatang tidak jauh berbeda dari tahun ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Servicemengeluarkan laporan pembaharuan tahunan pada 13 Februari 2019. Dari laporan itu disebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun di bawah lima persen pada 2019-2020.

Hal itu lantaran kemungkinan pengeluaran pemerintah moderat dan laju pembangunan infrastruktur yang lebih lambat. Sebelumnya, ekonomi Indonesia tumbuh kuat dan stabil dengan rata-rata lima persen dalam lima tahun terakhir.

"Perkiraan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ini masih lebih kuat dari rata-rata untuk negara yang di peringkat Baa2 atau layak investasi," seperti dikutip dari laman Moody's, Rabu, 13 Februari 2019.

Selain itu, Moody’s menilai kalau Indonesia kurang terdampak dari perlambatan perdagangan global jika dibandingkan dengan ekonomi negara lain di Asia Pasifik, meski harga komoditas global yang lebih rendah akan bebani pertumbuhan.

Dari analisis kredit yang dilakukan Moody’s menunjukkan dari empat kategori yaitu kekuatan ekonomi termasuk tinggi, kekuatan institusional dinilai moderat. Sedangkan kekuatan fiskal sedang dan kerentanan terhadap risiko juga rendah.

Moody’s menunjukkan Indonesia yang disiplin mengelola fiskal mampu membuat defisit yang sempit dan beban utang yang rendah.

Akan tetapi, proporsi signifikan dalam kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah membuat kedaulatan negara terpapar arus modal yang fluktuaktif mengingat harapan Moody’s akan kondisi moneter global yang lebih ketat.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya