BI: Perang Dagang Jadi Peluang RI Tarik Dana Investor Asing

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China harus diwaspadai karena dampaknya terhadap ekonomi dunia termasuk Indonesia.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 29 Jun 2019, 19:37 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2019, 19:37 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Diskusi perkembangan ekonomi terkini bersama Deputi Gubernur BI Sugeng (Foto:Liputan6.com/Dian Kuarniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China harus diwaspadai karena dampaknya terhadap ekonomi dunia termasuk Indonesia.

"Karena itu Indonesia perlu mengantisipasi perang dagang yang terjadi antara dua kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat melawan China ini. Karena di antara efeknya adalah turunnya volume perdagangan dunia secara umum," tutur Sugeng, Deputi Gubernur Bank Indonesia saat diskusi terarah dengan para akademisi Universitas Jember di gedung rektorat, Sabtu (29/6/2019). 

Ia menuturkan, salah satu dibuktikan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat ekonomi antara lain kawasan Eropa, Asia, Amerika Serikat dan China.

Sedangkan salah satu imbasnya lagi bagi Indonesia, banyak harga komoditas global yang menjadi andalan Indonesia seperti minyak sawit (CPO), batu bara, tembaga dan lainnya yang harganya turun, hanya harga karet dan timah saja yang naik. 

Jika perang dagang yang berkelanjutan ini, lanjut Sugeng, bakal menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang merugikan semua pihak. Oleh karena itu, salah satu langkah antisipasi yang diambil diantaranya memperkuat industri manufaktur di dalam negeri.

Meski demikian perang dagang itu, tidak selalu berdampak negatif. Akan tetapi, juga ada dampak positif yang bisa direbut. 

"Namun perang dagang juga berarti membuka kesempatan bagi Indonesia. Ada komoditas yang biasanya diekspor oleh China ke Amerika Serikat yang kini dilarang oleh Amerika Serikat, dan sebaliknya. Nah kesempatan seperti ini yang harus kita rebut. Belum lagi dengan potensi dana yang masuk ke Indonesia, karena investor tidak nyaman dengan kondisi perang dagang baik di dalam negeri Amerika Serikat maupun China," ucap Sugeng yang pernah menjadi kepala perwakilan BI di New York ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Dampak Positif

Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Kenaikan impor dari 14,46 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 16,09 miliar dolar AS (month-to-month). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selain itu dampak positifnya,dalam perang dagang antara Amerika Serikat dengan China juga membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat relatif aman.

Dari data bank Indonesia nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dari awal Juni hingga 21 Juni 2019 menguat 0,85 persen. Kondisi ini diharapkan mendorong kembali aliran masuk modal asing dan makin memperkuat rupiah. 

Modal Indonesia untuk mewaspadai perang dagang ini didukung dengan kondisi politik Indonesia yang stabil setelah Pemilu lalu yang berakhir dengan damai. 

"Banyak investor yang percaya bahwa demokrasi di Indonesia sudah berjalan baik sehingga mereka nyaman berinvestasi di Indonesia. Buktinya ketika pemerintah Indonesia menerbitkan obligasi Samurai Bond kepada investor di Jepang, tetap banyak yang tertarik bahkan dengan jangka waktu imbal hasil selama lima belas tahun. Ini bukti kita masih dipercayai oleh investor," ujarnya.

Diskusi terarah dimoderatori oleh M. Miqdad, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, dengan dihadiri para akademisi dari kalangan internal Universitas Jember dan perguruan tinggi negeri dan swasta di wilayah Besuki raya.

Dalam kesempatan ini M. Miqdad membeberkan, sembilan hal yang patut mendapatkan perhatian pemerintah dan Bank Indonesia.

Di antaranya menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di saat perekonomian dunia yang lesu, menjaga tingkat inflasi, memperkuat daya saing Indonesia dan menjaga kemandirian pangan serta mewaspadai deindustrialisasi.

"Pemerintah juga perlu meningkatkan tax ratio, dan pengawasan subsidi energi yang diagendakan. Kita juga harus mengawasi penyaluran dana desa yang direncanakan mencapai 70 triliun rupiah. Satu hal lagi, antisipasi terhadap pertumbuhan ekonomi digital dalam rangka revolusi industri 4.0," kata M. Miqdad.

 

Donald Trump dan Xi Jinping Sepakati Kembali Memulai Negosiasi Perdagangan

Presiden AS Donald Trump didampingi Presiden China Xi Jinping saat upacara penyambutannya di Beijing
Presiden AS Donald Trump didampingi Presiden China Xi Jinping saat upacara penyambutannya di Beijing (AP Photo/Andrew Harnik)

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk gencatan senjata lain dalam perang dagang yang menghilangkan ancaman langsung yang membayangi ekonomi global.

Donald Trump dan Xi Jinping sepakat untuk memulai kembali negosiasi perdagangan yang macet bulan lalu. Selain itu, AS sepakat tidak mengenakan tarif baru pada barang-barang China. Trump menuturkan, AS akan merilis pernyataan sekitar pukul 3.30 malam waktu setempat.

"Kami memiliki pertemuan yang sangat baik dengan Presiden China Xi Jinping. Bagus sekali. Saya mengatakan sangat baik. Sebagus yang akan terjadi.Kami membahas banyak hal dan kami segera kembali ke jalur semula," ujar Trump kepada wartawan di sela-sela pertemuan KTT G20 di Osaka, Jepang, seperti dikutip dari laman yahoofinance, Sabtu, 29 Juni 2019.

Kembalinya ke meja perundingan mengakhiri kebuntuan dalam enam minggu ini telah membuat perusahaan dan investor gelisah. Dengan kembalinya perundingan sementara waktu mengurangi kekhawatiran kalau dua ekonomi terbesar di dunia itu menuju perang dingin baru.

Akan tetapi, tidak jelas apakah kedua negara tersebut dapat mengatasi perbedaan yang sebabkan runtuhnya gencatan sebelumnya yang dicapai pada G20 tahun lalu.

Kekhawatiran buntunya negosiasi perdagangan telah mendorong investor untuk bertaruh pada pelonggaran bank sentral dan mendorong aset ke investasi safe haven. Imbal hasil surat berharga jatuh ke level terendah dan yen Jepang menguat. Sementara itu, dolar AS tergelincir termasuk terhadap yuan, mata uang China.

Sejak pembicaraan gagal pada 10 Mei, Trump telah menaikkan tarif USD 200 miliar barang China menjadi 25 persen dari 10 persen. Akhir-akhir ini, ia mengindikasikan pengenaan tarif 10 persen untuk barang impor dari China senilai USD 300 miliar termasuk telepon pintar dan pakaian anak-anak.

Kendala besar lainnya pemerintahan AS yang rilis daftar hitam Huawei Technologies pada bulan lalu atas keamanan nasional yang mengancam memutus akses perusahaan tersebut ke teknologi AS. Pemerintah AS telah melobik sekutu di seluruh dunia untuk tidak membeli peralatan Huawei yang menurut AS dapat digunakan untuk mata-mata China.

Sementara itu, Xi menghabiskan banyak dari pertemuan puncak untuk menjanjikan membuka ekonomi China dan mengecam meski tidak menyebut AS karena serangan terhadap sistem perdagangan global.

Dalam sambutannya kepada para pemimpin Afrika, Xi mengambil langkah tidak begitu halus pada kebijakan perdagangan Trump dan memperingatkan terhadap praktik intimidasi. Ia juga menambahkan kalau setiap upaya untuk menempatkan kepentingan diri sendiri terlebih dahulu dan melemahkan orang tidak akan memenangkan popularitas apa pun.

Xi juga mengatakan, kalau G20 harus menjunjung tinggi kelengkapan dan vitalitas rantai pasokan global. China bersikeras kalau Huawei harus dihapus dari daftar hitam berdasarkan kesepakatan apapu.

Sedangkan Donald Trump menegaskan mengenai pengurangan defisit perdagangan AS dan China yang mencapai rekor USD 419 miliar pada tahun lalu. Akan tetapi, fokus pemerintahannya telah bergeser untuk membatasi akses China ke inovasi AS. Pemerintah China pun menanggapi dengan retorika yang semakin keras.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya