Liputan6.com, Seoul - Hubungan antara Korea Selatan (Korsel) dan Jepang kembali memanas. Kali ini cekcok bermula akibat Jepang menolak membayar kompensasi pada pekerja paksa Korsel ketika masa Perang Dunia II.
Dilaporkan Reuters, pada 4 Juli lalu Jepang tiba-tiba malah mencekal impor produk high-technology asal Korsel. Hubungan diplomasi antar kedua negara pun memburuk, dan sebagai balasan warga Korsel ramai-ramai mengharamkan produk Jepang.
Advertisement
Baca Juga
"Jepang memberi tekanan pada Korea Selatan melalui pemangkasan ekspor, tidak menunjukkan penyesalan atas kesalahannya di masa lalu, itu sungguh tak bisa diterima," ujar Cho Min Hyuk, pengelola Purunemart di Seoul.
Korea Mart Association menyebut lebih dari 200 supermarket Korsel terlibat dalam pemboikotan ini. Barang yang dicekal ada beraneka ragam, mulai dari pulpen, pakaian, bir, industri travel, bahkan penjualan bir.
Ekspor bir Jepang ke Korsel sangat besar, yakni mencapai membeli 61 persen. Tahun 2018, Korsel menghabiskan 7,9 yen atau Rp 1 triliun (1 yen = Rp 129) untuk membeli bir Jepang.
Warga Korsel juga ikut ramai-ramai membatalkan perjalanan ke Jepang dan memamerkan keputusan itu di media sosial. Penyedia jasa travel mengakui jumlah reservasi warga Korsel ke Jepang menurun, sementara Lotte Home Shopping menyetop iklan paket tur Jepang karena khawatir tidak laku.
Brand Uniqlo yang memiliki 186 toko di Korsel ikut mengaku merasakan kemarahan warga. Selama ini, Uniqlo Korsel menyumbang 6,6 persen pendapatan perusahaan.
"Pastinya ada dampak pada penjualan," ujar chief financial officer Takeshi Okazaki tanpa menjelaskan lebih lanjut.Â
Pencekalan ekspor Korsel dianggap sebagai balasan Jepang terhadap tuntuntan Korsel, namun Jepang membantah tudingan tersebut. Korsel pun bersiap menyeret kasus ini ke WTO.
Sementara, NHK World melaporkan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS), John Bolton, diperkirakan akan melaksanakan mediasi antar kedua negara. Bolton dijadwalkan tiba ke Korsel pada pekan depan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kompensasi Masa Lalu
Desember tahun lalu, diberitakan ribuan warga Korea Selatan menggugat pemerintah setempat untuk membayar kompensasi atas kerja paksa pada perusahaan-perusahaan Jepang selama Perang Dunia II.
Tuntutan yang diajukan di pengadilan Seoul pada Rabu 19 Desember itu menjadi putaran baru dalam rangkaian perselisihan sejarah di antara kedua negara.
Dikutip dari The Straits Times , sebanyak 1.103 mantan korban kerja paksa dan keluarga mereka menuntut pemerintah Korea Selatan membayar 100 juta won (sekitar Rp 1,2 miliar) per orang. Desakan itu muncul karena otoritas Negeri Ginseng telah menerima dana ganti rugi dari Jepang.
Seoul dan Tokyo telah berjuang menyelaraskan diri dengan keputusan penting pada Oktober lalu, ketika Mahkamah Agung Korsel menyatakan perusahaan Jepang, Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp, harus membayar tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh empat korban kerja paksa.
Mereka mendasarkan gugatannya pada hak-hak yang belum terpenuhi sejak perjanjian diplomatik 1965, di mana menjadi titik balik perdamaian kedua negara.
Berdasarkan kesepakatan itu, Korea Selatan menerima sekitar US$ 800 juta (setara Rp 11,5 triliun) dalam bantuan ekonomi dan pinjaman dari Jepang sebagai ganti rugi kerusakan selama perang.
Oleh pemerintah di Seoul, uang itu dihabiskan untuk membangun kembali infrastruktur dan ekonomi rusak oleh Perang Korea 1950-53.
Advertisement
Berbagi Sejarah Pahit
Sementara itu, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan pada pekan lalu, bahwa dia sangat menghormati keputusan untuk menegakkan hak individu terkait kompensasi.
Aksi unjuk rasa terbaru itu menambah tiga tuntutan yang telah diajukan sebelumnya oleh 283 korban kerja paksa --bersama dengan keluarga mereka-- pada tengah tahun ini.
"Pemerintah harus memberi kompensasi kepada kami terlebih dahulu, mengambil tanggung jawab untuk memanfaatkan dengan baik, uang yang diambil dari perjanjian 1965," kata kelompok itu pada konferensi pers di Seoul.
Korea Selatan dan Jepang berbagi sejarah pahit dalam Perang Asia Raya pada 1910-1945, yang turut memporak-porandakan Semenanjung Korea.
Kala itu, Jepang diketahui melakukan mobilisasi paksa tenaga kerja di perusahaan-perusahaan negara itu, serta penerapan kebijakan eufemisme kepada wanita dewasa dan anak gadis --banyak dari mereka orang Korea-- yang dipaksa bekerja di rumah bordil di masa perang.