Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengatakan, setelah 74 merdeka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor non migas seperti batu bara dan kelapa sawit. Hal ini yang kemudian membuat pertumbuhan ekonomi lambat dari tahun ke tahun.
"Dari dua jenis barang non migas, batu bara dan sawit sudah 74 merdeka masih bergantung pada itu. Tidak mengalami transformasi," ujar Faisal saat memberi paparan dalam diskusi di Kedai Tempo, Jakarta, Rabu (14/8).
Advertisement
Baca Juga
Faisal mengatakan, neraca perdagangan pun turut kena imbas karena pemerintah tak mampu mencari sektor lain untuk menggerakkan ekspor. Padahal ekspor menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi disamping investasi dan konsumsi.
"Tahun lalu merchandise perdagangan barang mengalami defisit USD 0,4 miliar. Defisit itu barang dijual dibanding yang di beli banyakan belinya. Ini ada non migas surplus USD 11,2 miliar. Tapi migas minus USD 11,6 miliar. Jadi surplus mau dari mana, cuma batu bara dan sawit cuma itu," jelasnya.
Faisal menambahkan, pemerintah harus mencari cara lain agar defisit tak terus terjadi dan pertumbuhan ekonomi bisa meningkat pesat. Termasuk mengkaji kembali sektor-sektor penting yang masih bisa digenjot seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), perikanan dan sektor energi.
"TPT menyumbang pendapatan USD 3 miliar. Tapi sekarang hampir sama dengan perdagangan Ikan. Bulan juli Bank Dunia mengajak Indonesia melihat ocean. Ini bisa dimanfaatkam karena tanpa bikin investasi baru lagi jadi bisa mendatangkan pendapatan," jelasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BI Sebut Realisasi Pertumbuhan Ekonomi di Bawah Ekspektasi
Bank Indonesia (BI) menyebut realisasi Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019 tidak sesuai dengan perkiraan. Hal tersebut kemudian berdampak pada kenaikan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2019.
"Beberapa RDG terakhir kami sampaikan PDB di triwulan II itu relatif sama dengan triwulan I, tapi realisasinya kan lebih rendah," kata dia, di kompleks BI, Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Menurut dia, neraca pembayaran yang anjlok kuartal ini seiring dengan pelebaran defisit transaksi berjalan sebesar USD 8,44 miliar. Rasio CAD terhadap PDB pun meningkat menjadi 3 persen.
"Kemudian kalau dihitung rasio terhadap PDB memang sedikit lebih tinggi menjadi 3 persen (dari) PDB. Bukan karena defisit lebih tinggi tapi karena PDB-nya lebih rendah yang kita pikirkan," ungkapnya.
Perry memaparkan PDB kuartal II memang lebih rendah dari yang diperkirakan yakni 5,05 persen (year on year). "Realisasi di triwulan II kan PDB-nya 5,05 persen sedikit lebih rendah dari yang kita pikirkan. CAD per PDB lebih tinggi ya, semula kita perkirakan kurang lebih 2,9 persen sekarang menjadi 3 persen," urai dia.
Meskipun demikian, Bank Indonesia memprediksi neraca pembayaran di kuartal berikutnya akan membaik. Hingga akhir tahun 2019 CAD diperkirakan akan berada pada kisaran 2,5 persen sampai 3 persen dari PDB.
"Kami juga optimistis surplus neraca modal masih akan bisa biayai defisit transaksi berjalan. Terbukti cadangan devisa bulan terakhir meningkat, surplus neraca modal dari defisit neraca berjalan. Kami optimis bisa jaga stabilitas eksternal," tandasnya.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Jakarta di Triwulan II 2019 Melambat, Hanya 5,71 Persen
Memasuki pertengahan tahun 2019, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mengalami perlambatan, namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Setelah tumbuh sebesar 6,25 persen (yoy) pada triwulan I, pertumbuhan pada triwulan II tercatat sebesar 5,71 persen (yoy). Pertumbuhan triwulan II tersebut masih lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,05 persen (yoy).
"Melambatnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2019 tertahan oleh meningkatnya konsumsi. Pertumbuhan PMTB tercatat mengalami kontraksi sebesar 3,13 persen (yoy) karena lebih terbatasnya aktivitas pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta Hamid Ponco Wibowo dalam keterangannya, Selasa (6/8/2019).
Ekspor mengalami perlambatan menjadi 5,44 persen (yoy) seiring perlambatan ekonomi dunia. Sementara itu impor mengalami kenaikan menjadi 12,14 persen (yoy) seiring masih kuatnya konsumsi.
Peningkatan konsumsi, baik pada konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, maupun konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) dapat menahan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh sebesar 6,15 persen (yoy) karena adanya momen puasa dan hari raya Idul Fitri sehingga turut mendorong belanja masyarakat.
Konsumsi pemerintah tumbuh hingga 34,61 persen (yoy), karena adanya peningkatan realisasi THR untuk aparatur sipil negara (ASN). Konsumsi LNPRT tercatat tumbuh sebesar 17,93 persen (yoy) karena masih adanya dorongan dari pelaksanaan Pemilu 2019.