Liputan6.com, Jakarta - Ketersediaan pasokan listrik menjadi penopang perkembangan industri di Tanah Air. Salah satunya untuk industri kopi yang tengah naik daun.Â
Ketua Bali Collection Festival 2019 Pambudi Prasetyo mengatakan, luasnya penggunaan listrik di industri kopi dimulai sejak dari kopi tersebut ditanam sampai siap diminum. Proses penanaman kopi tidak hanya membutuhkan energi secara intensif, baik digarap dengan sistem tanam sederhana ataupun yang menggunakan mesin (mekanisasi pertanian).
"Faktanya, hampir 60 persen energi yang dipergunakan untuk menghasilkan secangkir kopi, terutama terletak pada sisi distribusi (pengangkutan), roasting (proses sangrai), dan penyeduhan (brewing) kopi," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Advertisement
Baca Juga
Mesin roasting beroperasi pada suhu temperatur 550 derajat Fahrenheit, dansetiap satu jam menghabiskan sekitar 1 juta BTU (British Thermal Unit). Dari semua proses, penyeduhan kopi yang membutuhkan energi paling besar.
Menggabungkan antara panas dari energi listrik itulah yang masuk dalam seni dan energi penyediaan kopi, termasuk berbagai mesin penyeduhnya. Secara total energi yang dipergunakan untuk menghasilkan 100 mililiter kopi setara dengan1,94 megajoules, atau setengah KwH.
Sementara itu, Ketua Indonesian Barista Association (IBA) Bali, Nyoman Suweca mengungkapkan, kepastian pasokan listrik di bisnis kopi sangat diperlukan. Sebab, sebagian besar peralatan untuk membuat kopi membutuhkan pasokan listrik.
Di bidang usaha coffee shop, daya listrik setiap jenis mesin berbeda-beda, bervariasi antara 1.200 watt sampai 1.300 watt, di luar daya boiler. Biasanya setiap venue memiliki minimal 4 jenis mesin, serta pendingin ruangan (AC) sehingga untuk menyediakan daya listrik beserta spare daya tersedia, mereka perlu menyediakan sekitar 10 ribu watt.
“Investasi terbesar adalah pada harga mesin-mesin seperti coffee grinder (mesin giling kopi), mesin espresso, french press (alat penghilang ampas kopi), milksteamer, dan kulkas untuk menyimpan susu dan campuran bahan kopi lainnya (chest freezer). Sebab harga satu jenis mesin saja berada sekitar Rp 35 juta-Rp 50 juta," tutup dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kopi jadi Komoditas Unggulan Ekspor Indonesia
Kementerian Pertanian (Kementan) sebar bibit unggul gratis ke petani di Desa Sido Mulyo, Kecamatan Buah Batu, Palangkaraya. Melalui program BUN 500, Kementan ingin menggenjot produktivitas komoditas unggul untuk ekspor.
Saat ini, komoditas yang diprioritaskan ialah kopi, lada, cengkeh, pala, kakao, karet, kelapa, jambu mete, teh dan tebu.
Kopi jadi salah satu komoditas paling laris di pasar dunia. Bahkan di krisis perang dagang Amerika dengan China saat ini, peluang ekspor komoditas ini makin terbuka lebar.
"Sekarang kami dengar India lagi senang minum kopi. Kemudian waktu kunjungan ke Kolombia, disana diceritakan kopi Indonesia lebih dari beberapa kali. Itu bisa jadi peluang buat kita masuk ke pasar sana, bahkan perang dagang ini justru menguntungkan," ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman di Palangkaraya, Kamis (18/7/2019).
Seiring dengan produktivitas yang naik, pemerintah juga tengah mencanangkan hilirisasi perkebunan. Ke depannya, Indonesia tidak hanya menjual barang mentah, namun barang jadi.
Hilirisasi, selain meningkatkan nilai jual produk, juga bisa menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan petani melalui korporasi petani sehingga nantinya mereka bisa punya saham di industri.
Advertisement
Harga Biji Kopi Anjlok
Petani kopi mengungkapkan salah satu tantangan saat ini adalah harga kopi yang tengah anjlok. Turunnya harga biji kopi telah menggerus pendapatan petani.
Ketua Koperasi Tani Manunggal Sutarno mengatakan, saat ini, biji kopi (green bean) dijual dengan harga Rp 22.000 per kilogram. Harga ini, diakuinya turun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
"Green bean (biji kopi) sekarang cuma Rp 22.000 per kilogram. Itu turun jauh," kata dia kepada Merdeka.com, di acara Penandatanganan Kerja Sama dengan CJ Indonesia, di CGV FX Sudirman, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Harga biji kopi sempat menyentuh angka Rp 30.000 per kilogram sebelum kemudian turun. Penurunan harga, lanjut dia sudah terjadi sejak 2018.
"Biasanya kemarin-kemarin green bean bisa mencapai Rp 27.000, Rp 28.000, bahkan pernah sampai Rp 30.000. (Penurunan harga) sudah dari tahun kemarin," ujarnya.
Berhadapan dengan kenyataan demikian, petani tidak bisa berbuat banyak. Sebab di satu sisi mereka tetap membutuhkan dana sehingga tetap menjual meski dengan harga rendah.
"Kita kan tahu kopi itu kan panen cuma setahun. Jadi kita harus mengatur supaya panenan itu cukup untuk setahun. Ketika harga kopi jatuh padahal kita butuh dana. Kita jual. Ya sudahlah. Makanya posisi tawar kita lemah," jelas Sutarno.