Alasan Pemerintah Percepat Pelarangan Ekspor Nikel

Selama dua bulan terakhir, lonjakan ekspor bijih nikel naik tiga kali lipat atau menjadi 100-130 kapal ekspor per bulan.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Okt 2019, 20:11 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2019, 20:11 WIB
Harga Nikel Naik 28 Persen, Ini Strategi Antam Agar Kompetitif
Nikel lagi-lagi mencatatkan trend kenaikan harga yang positif selama tahun 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan membeberkan beberapa alasan dipercepatnya pelarangan ekspor bijih (ore) nikel. Salah satunya, yakni temuan lonjakan ekspor terhadap komoditas tersebut.

Luhut menyebut, selama dua bulan terakhir, lonjakan ekspor bijih nikel naik tiga kali lipat atau menjadi 100-130 kapal ekspor per bulan. Padahal normalnya hanya mencapai 30 kapal saja setiap bulannyam

"Lonjakan luar biasa terjadi sudah dua bulan dari awal September. Itu merusak dan merugikan negara. Kamu (eksportir) manipulasi kadar dan kuota yang dijual," kata dia di Kantornya, Jakarta, Selasa (29/10).

Luhut mengatakan, jumlah ekspor yang melebihi kuota terjadi akibat aturan pemerintah yang melarang percepatan ekspor bijih nikel dari sebelumnya 2022 menjadi 1 Januari 2020. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang diterbitkan mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Meski begitu, Luhut belum tahu berapa jumlah eksportir nikel yang tercatat melebihi kapasitas ekspor. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan KPK, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Bea Cukai, dan Kementerian ESDM untuk memetakan perusahaan yang ekspor melebih kuota.

Lebih lanjut, Luhut mengatakan perusahaan yang ketahuan ekspor melebihi kuota bakal terkena sanksi. Karena dalam hal ini melibatkan KPK, maka sanksi yang diberikan pun bisa hingga pidana. "Pidana. Jadi jangan macam-macam karena KPK terlibat," katanya.

Di sisi lain, dia mengakui penghentian ekspor bijih (ore) nikel ini hanya bersifat sementara. Penghentian ekspor tersebut mulai berlaku hari ini. Nantinya, dalam satu atau dua minggu ke depan larangan tersebut bisa dicabut. Dengan begitu, eksportir bisa menjual lagi bijih nikel ke luar.

"Ekspor nikel dievaluasi (setop). Berapa lama dilakukan? Bisa seminggu atau dua minggu. Tapi resminya nanti penyetopan 1 Januari 2020," pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Resmi Berlaku

Sambut Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, Relawan Pengusaha Muda Gelar Syukuran
Ketua Dewan Pembina Repnas, Bahlil Lahadalia memberi sambutan pada acara syukuran menyambut kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Jakarta, Sabtu (20/4). Syukuran kemenangan digelar berdasarkan pantauan hitung cepat tim internal yang memenangkan pasangan nomor urut 01. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyebut ekspor bijih nikel atau ore resmi sudah tak diperbolehkan. Kesepakatan ini maju dua bulan dari rencana awal.

"Hari ini secara formal kesepakatan bahwa yang seharusnya ekspor itu akan selesai di 1 Januari 2020 mulai hari ini akan kita sepakati tidak lagi melakukan ekspor ore," ujar Bahlil pada Senin (28/10).

Bahlil menyebut percepatan ini atas dasar kesadaran kolektif anak bangsa. Tidak ada surat 'paksaan' dari kementerian teknis atau pemerintah pusat.

Dia berkata pemrosesan ore di dalam negeri bisa memberikan nilai tambah, ketimbang ekspor ore yang justru membuat rugi. Hilirisasi atau mengekspor barang ore jadi disebut Bahlil bisa mencapai USD 2.000 per ton.

Ore yang sudah ada akan dibeli oleh pengusaha yang sudah punya smelter. Harganya pun masih level internasional. "Ore yang sudah ada sampai bulan Desember akan dibeli pengusaha yang sudah mempunyai smelter dengan harga internasional di China dikurangi pajak dan transhipment," ujar Bahlil.

Bahlil menegaskan bisnis itu dinamis sehingga tak khawatir jika ada protes luar negeri terkait pelarangan ekspor bahan tambang mentah tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya