Suku Bunga Acuan BI Masih Bisa Turun di Tahun Depan

Bank Indonesia tetap akan mengacu pada data-data ekonomi domestik dan global dalam menentukan kebijakan suku bunga acuan

oleh Athika Rahma diperbarui 09 Des 2019, 13:42 WIB
Diterbitkan 09 Des 2019, 13:42 WIB
Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta.(Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Manggarai Barat - Peluang Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate masih terbuka. Arah kebijakan moneter pada tahun depan masih akomodatif sehingga membuka peluang  nilai suku bunga acuan kembali turun.

"Saya kira arah (kebijakan) 2020 masih akomodatif. Stance masih longgar," ujar Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Endy Dwi Tjahjono di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (9/11/2019).

Meski demikian, regulator tetap akan mengacu pada data-data ekonomi domestik dan global dalam menentukan kebijakan ini. "Apakah nanti akan diturunkan, kita lihat data 2020. Kalau perlu diturunkan, kita turunkan," papar Endy.

Sebagai informasi, hingga November 2019, BI menahan suku bunga acuan pada level 5 persen. BI juga menahan suku bunga deposit facility dan lending facility dengan masing-masing sebesar 4,25 persen dan 5,75 persen.

BI terhitung sudah menurunkan suku bunga acuan hingga 4 kali atau sebanyak 100 bps dari bulan Juli 2019 hingga Oktober 2019.

Tonton Video Ini

Selama Masih Jadi Negara Berkembang, Transaksi Berjalan RI Bakal Tetap Defisit

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Endy Dwi Tjahjono, dalam acara  capacity building bagi wartawan ekonomi di Labuan Bajo, Senin (9/12/2019).
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Endy Dwi Tjahjono, dalam acara capacity building bagi wartawan ekonomi di Labuan Bajo, Senin (9/12/2019).

Bank Indonesia (BI) menyatakan transaksi berjalan bisa surplus jika Indonesia sudah masuk kategori negara maju. Sebab, saat itu dengan pendapatan per kapita yang tinggi, Indonesia bisa membiayai pembangunan sendiri tanpa bergantung besar pada modal ataupun barang asing.

"Selama masih menjadi negara berkembang, Indonesia akan tetap membutuhkan modal asing," ujar Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Endy Dwi Tjahjono, saat ditemui di Labuan Bajo, Senin (9/12/2019).

Saat ini, menurutnya, pemerintah sudah berada di jalur yang tepat terkait kebijakannya dalam mengatasi defisit transaksi berjalan. Diantara menggalakan program biodiesel dengan target B100 bertujuan menekan impor migas, memproduksi sendiri baterai mobil listrik, dan lain sebagainya.

"Kita punya nikel besar. Kalau itu bisa berhasil maka RI akan menjadi pusat produksi baterai listrik. Ketiga tentu produksi dari mobil listriknya sendiri. Mudah-mudahan ke depan kalau bisa menjadi pusat mobil listrik itu bisa membantu," tuturnya.

SVP Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto, menambahkan upaya pemerintah dalam memajukan industri pariwisata sudah benar.

Selain biodiesel, industri pariwisata menjadi salah satu alat efektif dalam memperbaiki defisit transaksi berjalan karena mendatangkan devisa.

"Catatan Bank Dunia itu manage your natural asset itu bicara wisata atau tourism," ucapnya.

Selain itu, cara lain yang bisa dilakukan ialah memperbaiki sektor jasa Tanah Air. Salah satunya dengan mendatangkan diaspora untuk bekerja di Indonesia alih-alih mempekerjakan pekerja asing.

"Optimalkan SDM domestik. Diaspora suruh pulang sehingga tidak perlu bayar upah pakai Dolar," tuturnya.

Reporter: Harwanto Bimo Pratomo

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya