Penjelasan Lengkap DPR soal UU Cipta Kerja, Mulai Aturan Cuti hingga Pesangon

DPR RI mendapat banyak kecaman dan protes pasca meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 06 Okt 2020, 21:26 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 21:13 WIB
FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Wakil Pimpinan DPR Azis Syamsuddin (kiri) mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU disaksikan Ketua DPR Puan Maharani (kedua kiri), Wakil Pimpinan DPR Sufmi Dasco Ahmad (kedua kanan) dan Rachmad Gobel saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR RI mendapat banyak kecaman dan protes pasca meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin.

Sejumlah serikat pekerja/buruh kompak menolak terbitnya UU Cipta Kerja dengan berbagai alasan. Mulai dari penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), penghapusan hak cuti dan hak upah atas cuti, hingga jadi pintu masuk bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk berbondong-bondong datang ke Indonesia.

Menanggapi deretan penolakan tersebut, DPR coba memberikan rangkuman jawaban kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020). Dewan Perwakilan Rakyat coba menjawab tiap butir keberatan pekerja atas pengesahan UU Cipta Kerja.

Pertama, soal UMK dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang bakal dihapuskan. Menurut penjelasan DPR, upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah.

"Upah Minimum Provinsi (UMP) WAJIB ditetapkan oleh Gubernur. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) TETAP ADA," tulis DPR.

Sementara untuk UMSK, setelah UU Cipta Kerja disahkan, upah minimum sektoral tetap berlaku bagi daerah yang telah menetapkannya. Sehingga untuk pekerja yang telah menerima UMSK yang lebih tinggi dari UMK tidak boleh diturunkan.

Kedua, terkait pengurangan pesangon dari 32 kali menjadi 25 kali. DPR menyebutkan, pemerintah tetap memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh.

Dalam hal ini, UU Cipta Kerja melahirkan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang tidak mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnya, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.

"JKP tidak menambah beban bagi pekerja/butuh. Program KKP selain memberikan manfaat cash benefit juga memberikan manfaat lainnya yaitu peningkatan skill dan keahlian melalui pelatihan serta akses informasi ketenagakerjaan," papar DPR.

Selain itu, DPR juga menggarisbawahi persyaratan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang tetap mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perjanjian Kerja

Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Butir keberatan lainnya yakni terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup (tidak ada batas waktu kontrak). DPR menyatakan, ketentuan ini hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (tidak tetap).

PKWT tetap memberikan perlindungan kepada pekerja hingga kontrak selesai, dan mereka berhak mendapatkan uang kompensasi sesuai masa kerja ketika PKWT berakhir.

"Syarat PKWT tetap mengacu pada UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan dunia kerja," tulis DPR.

Berikutnya, DPR memberi jawaban soal penolakan atas sistem outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan. DPR menyatakan, UU Cipta Kerja tetap mengatur hubungan kerja dalam alih daya, namun lingkup pekerjaan yang dapat dialihdayakan tidak dibatasi.

"Apabila terjadi pengalihan pekerjaan dari perusahaan alih daya, maka masa kerja dari pekerja/butuh tetap dihitung. Dan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja harus dipersyaratkan dalam perjanjian kerja," kata DPR.

Poin selanjutnya terkait waktu kerja dalam UU Cipta Kerja yang dinilai terlalu eksploitatif. Dalam atura baru ini, DPR merinci waktu kerja tetap mengikuti ketentuan UU 13/2003 yakni 40 jam dalam sepekan, dimana untuk 5 hari kerja sebanyak 8 jam per hari dan untuk 6 hari kerja sebanyak 7 jam per hari.

Namun, jenis pekerjaan mengikuti tren industri 4.0 dan berbasis industri ekonomi digital, yang waktunya sangat fleksibel sesuai dengan kesepakatan.

"RUU Cipta kerja memberi ruang optimalisasi waktu kerja dan optimalisasi kapasitas produksi dengan menambah jam lembut, dari 3 jam menjadi 4 jam per hari. Dengan tetap adanya pengaturan waktu untuk 5 atau 6 hari kerja, maka waktu untuk libur/istirahat tetap ada dan disesuaikan," jelas DPR.

 

Hak Cuti

FOTO: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh di Cikarang Mogok Kerja
Sejumlah buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja dari tanggal 6-8 Oktober tersebut akibat pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Penjelasan berikutnya terkait isu hilangnya hak cuti serta hak upah atas cuti. DPR memastikan pengusaha tetap wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja, dan UU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Kecaman selanjutnya yang coba ditanggapi terkait outsourcing yang tidak mendapat jaminan pensiun dan kesehatan akibat sistem kontrak seumur hidup. DPR menyangkal tudingan ini, dan menyatakan UU Cipta kerja tetap memberikan PKWT jaminan pensiun melalui kompensasi setiap berakhirnya kontrak.

Sedangkan untuk jaminan lainnya berupa jaminan kesehatan/kecelakaan/kematian, itu semua tetap ada dan sama dengan pekerja tetap. Demikian juga jika terjadi pengalihan pekerja, maka perlindungan atas hak-hak pekerja dan buruh tidak boleh kurang. Dengan catatan, objek pekerjaannya tetap pada satu perusahaan pemberi kerja yang sama.

Terakhir, DPR memberikan menyampaikan seputar isu TKA yang bakal diberi kemudahan masuk ke Indonesia. Dijelaskan bahwa tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.

"Setiap pemberi kerja wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan TKA," tutur DPR.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya