Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencermati nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat. Hal ini didukung oleh berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, nilai tukar rupiah pada 18 November 2020 menguat sebesar 3,94 persen point to point dibandingkan dengan level akhir Oktober 2020.
"Perkembangan ini melanjutkan penguatan pada bulan sebelumnya sebesar 1,74 persen point to point atau 0,67 persen secara rata-rata dibandingkan dengan tingkat September 2020," jelasnya dalam sesi teleconference, Kamis (19/11/2020).
Advertisement
Menurut dia, selain karena peningkatan aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik, penguatan rupiah juga terjadi seiring dengan turunnya ketidakpastian pasar keuangan global, seeta persepsi positif terhadap prospek perbaikan perekonomian domestik.
Dengan perkembangan ini, Perry mencatat, rupiah sampai dengan 18 November 2020 terdepresiasi sekitar 1,33 persen secara year to date jika dibandingkan akhir 2019 lalu.
"Ke depan, Bank Indonesia memandang bahwa penguatan nilai tukar rupiah berpotensi berlanjut seiring dengan levelnya yang secara fundamental masih undervalued," ujar Perry
"Hal ini didukung oleh defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi yang rendah dan terkendali, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko di Indonesia yang menurun, dan likuiditas global yang besar," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rupiah Diprediksi Ada di Kisaran 13.250-13.750 per Dolar AS pada 2021
Ekonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) akan cenderung menguat pada tahun 2021. Bahkan, Rupiah diyakini mampu kembali mendekati nilai fundamentalnya dikisaran Rp13.250 -Rp13.750 per USD.
"Kita perkirakan pada 2021 Rupiah akan punya potensi untuk lebih menguat. Rupiah yang saat ini sudah mulai bertahan menguat berpotensi kembali mendekati nilai fundamentalnya dikisaran Rp13.250-Rp13.750 per USD," ujar Piter dalam webinar bertajuk "CORE ECONOMIC OUTLOOK 2021," Rabu (18/11).
Piter mengatakan, penguatan nilai tukar Rupiah dipicu oleh membaiknya kinerja perdagangan Indonesia yang mengalami surplus hingga mencapai USD 13,5 miliar per September 2020. Dan diprediksi tren positif ini terus berlangsung hingga akhir tahun.
"Kita yakini neraca perdagangan yang sudah surplus ini terus melanjutkan kinerja baiknya hingga akhir tahun. Sehingga mendorong Rupiah untuk menguat," paparnya.
Selain itu, kemenangan Joe Biden di Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020 diyakini akan berdampak baik bagi ekonomi Indonesia. Salah satunya peningkatan realisasi Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung dari AS ke Tanah Air.
"Peralihan kekuasaan dari Trump ke Biden jika berjalan lancar diyakini akan meningkat dan mendorong lahirnya investasi. Sehingga menciptakan emarging market (pasar yabg berkembang cepat) termasuk ke Indonesia," jelas dia.
Maka dari itu, Piter menyebut tak berlebihan jika nilai tukar Rupiah akan menguat tajam pada tahun depan. "Karena kita tahu neraca perdagangan surplus kemudian capital inflow itu akan mensupport supply dollar AS, jadi rupiah kita perkiraan 2021 akan punya potensi untuk lebih menguat," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.comÂ
Advertisement
Gubernur BI Sebut Rupiah Masih Undervalued
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bakal terus menguat. BI melihat bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih di bawah nilai semestinya.Â
"Sekarang diperdagangkan sekitar 14.100 per dolar AS. Kami melihat bahwa nilai tukar rupiah masih berpotensi untuk menguat, kami melihat bahwa level sekarang secara fundamental masih undervalued," katanya dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta, Kamis (12/11/2020).
Menurut Perry, jika melihat fundamental ekonomi Indonesia yang ada saat ini, nilai tukar rupiah masih jauh di bawah nilai fundamental. Oleh sebab itu, dia meyakini rupiah masih akan bisa menguat.
Dia mencontohkan dari sisi inflasi, saat ini masih berkisar di level 1,44 persen secara tahunan pada Oktober 2020. Sedangkan transaksi berjalan defisit USD 2,9 miliar kuartal II-2020 dan premi risiko menurun.
"Dengan melihat bahwa inflasi rendah, transaksi berjalan defisitnya rendah, daya tarik aset keuangan Indonesia yang tinggi dan premi risiko yang menurun," tegas dia.
Menurut Perry, beberapa indikator risiko di pasar keuangan juga mulai mereda sehingga bisa mendorong rupiah. contohnya adalah Credit Default Swap (CDS) yang di posisi 73 dan VIX Index di posisi 26 meskipun ketidakpastian pasar keuangan masih tinggi.
"Di pasar keuangan global juga ketidakpastian mulai turun meski tetap tinggi karean faktor geopolitik dan second wave Pandemi COVID. VIX dan CDS turun terutama di bulan-bulan November setelah pemilu di AS," ucap dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com Â