Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyoroti kenaikan harga pangan seperti cabai, bawang dan telur ayam yang selalu terjadi setiap musim Natal dan Tahun Baru (Nataru). Perlu adanya tindakan yang kongkrit agar harga pangan tak selalu naik di akhir tahun.
Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri menilai, pemerintah seharusnya melakukan pemetaan wilayah produksi pangan. Sehingga distribusi komoditas pangan bisa sesuai dengan kebutuhan konsumsi dan jumlah produksi. Dengan catatan, data angka tersebut harus tepat sasaran.
Baca Juga
"Harusnya lebih diperkuat pemetaan wilayah produksi dulu, agar kita bisa mengetahui yang paling penting harus dilakukan pemerintah adalah mengetahui berapa jumlah konsumsi dan berapa jumlah produksi. Dan datanya tidak ngawur ya," ujar Abdullah kepada Liputan6.com, Jumat (25/12/2020).
Advertisement
Menurut dia, bank data terkait kebutuhan pangan tersebut semustinya bisa dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Abdullah menyatakan, BPS merupakan satu-satunya instansi yang paling valid untuk mengelola bank data tersebut.
"Data ini Kemendag enggak boleh keluarin data, Kementan enggak boleh keluarin data, Ikappi enggak boleh ngeluarin data. Yang boleh ngeluarin data hanya BPS," tegasnya.
Sebab, ia mengatakan, jika setiap instansi pemerintah mengeluarkan data pangan sesuai versinya masing-masing, maka aksi saling klaim sepihak akan terus terjadi.
"Lebih baik satu-satunya lembaga yang ditunjuk untuk melakukan pendataan ya BPS," imbuh Abdullah.
Saksikan video pilihan berikut ini:
PBB: Harga Pangan Dunia Naik Pesat, Rekor Tertinggi di Periode Enam Tahun Terakhir
Sebelumnya, harga bahan pangan yang paling banyak diperdagangkan secara global naik secara keseluruhan, demikian menurut laporan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia FAO. Kondisi tersebut dinilai bisa menekan sejumlah negara yang tengah kekurangan.
Menurut FAO, situasi itu mampu memberikan tekanan ekstra khususnya pada 45 negara yang membutuhkan bantuan pangan dari luar untuk memberi makan populasi mereka.
Mengutip laman DW Indonesia, Jumat (4/12/2020), indeks Harga Pangan FAO rata-rata berada di 105 poin selama satu bulan, naik 3,9 persen dari Oktober dan 6,5 persen dari tahun sebelumnya.
"Kenaikan bulanan ini adalah yang paling tajam sejak Juli 2012, menempatkan indeksnya pada level tertinggi sejak Desember 2014," kata badan pangan PBB yang berbasis di Roma itu.
Dalam daftar kenaikan bahan pangan tersebut, yang paling besar terjadi pada indeks harga minyak nabati. Melonjak 14,5 persen karena rendahnya stok minyak sawit.
Selain itu, indeks harga sereal juga dilporkan naik 2,5 persen dari Oktober - membuat harganya hampir 20 persen lebih tinggi dibanding tahun 2019 lalu.
Harga ekspor gandum naik, antara lain karena berkurangnya prospek panen di Argentina, begitu pula harga jagung, dengan ekspektasi produksi yang lebih rendah di AS dan Ukraina dan pembelian besar-besaran oleh Cina, kata FAO.
Indeks harga gula naik 3,3 persen dari bulan sebelumnya di tengah "meningkatnya ekspektasi penurunan produksi global" karena cuaca buruk yang membuat prospek panen yang lebih lemah di Uni Eropa, Rusia dan Thailand.
Harga susu juga naik 0,9 persen mendekati level tertinggi selama 18 bulan, sebagian karena ledakan penjualan di Eropa akibat pandemi corona. Harga daging naik 0,9 persen dari Oktober, tetapi telah mengalami penurunan secara signifikan pada tahun lalu, kata laporan itu.
Kenaikan harga merupakan beban tambahan bagi mereka yang mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi virus corona, yang menurut FAO terbukti menjadi "pendorong penting tingkat kerawanan pangan global".
"Pandemi memperburuk dan mengintensifkan kondisi yang sudah rapuh yang disebabkan oleh konflik, hama dan guncangan cuaca, termasuk badai baru-baru ini di Amerika Tengah dan banjir di Afrika," kata FAO. Selanjutnya disebutkan, "45 negara, 34 di antaranya di Afrika, terus membutuhkan bantuan eksternal untuk makanan".
Laporan FAO juga mencatat risiko curah hujan di atas rata-rata di Afrika Selatan dan Asia Timur, sementara sebagian Asia dan Afrika Timur curah hujan diperkirakan berkurang dan merupakan "kondisi yang dapat mengakibatkan guncangan produksi yang merugikan".
Advertisement