Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah meluncurkan kampanye tentang dampak baik dari perkebunan kelapa sawit bertajuk #SawitBaik sekitar dua tahun lalu. Bermula di medio September 2019, gerakan nasional yang menangkal kampanye negatif terhadap kelapa sawit tersebut diluncurkan.
Kampanye tersebut lahir atas dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Baca Juga
Setelah berjalan hampir dua tahun dengan memanfaatkan berbagai kanal media sosial, kampanye Sawit Baik tersebut diklaim berhasil mendorong perekonomian orang-orang yang ada di sekitar industri sawit. Salah satu yang menerima dampaknya adalah petani sawit.
Advertisement
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengaku merasakan dampak baik dari kampanye yang telah berjalan guna menghalau citra negatif sawit. Kampanye tersebut dinilai mendorong harga sawit di kelas petani menjadi lebih baik.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, kampanye negatif tersebut tentunya berdampak juga pada negara importir sawit dari Indonesia. Dengan begitu, negara importir akan beralih dari minyak nabati yang diperoleh dari sawit ke minyak nabati non-sawit.
“Dampak langsung kampanye positif ke petani adalah tentu harga TBS (tandan buah segar). Karena kalau terus ada kampanye negatif maka negara importir CPO akan tertekan dan mengalihkan ke minyak nabati non-sawit meskipun mereka terpaksa membeli dengan harga mahal,” katanya saat dikonfirmasi Liputan6.com, Senin (6/9/2021).
Bahkan, Gulat mengatakan bahwa negara-negara yang beralih dari sawit akan mengalami kerugian karena harus membeli minyak di luar sawit yang ahrganya mahal.
“Jadi sebenarnya masyarakat negara-negara pengimpor CPO itu yang rugi karena harus membeli minyak nabati dengan mahal,” tambahnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tertinggi Sepanjang Sejarah
Di sisi ekonomi pada tingkat petani, Gulat menerangkan bahwa kesejahteraan petani dapat diukur dari nilai tukar petani (NTP). Ia menyampaikan, nilai tukar petani paling tinggi terjadi pada Agustus 2021.
“Kesejahteraan Petani itu dapat diukur dari NTP (nilai tukar Petani), dimana nilai tukar petani perkebunan saat bulan Agustus lalu yang tertinggi sepanjang sejarah yaitu 142,91 persen dimana bulan Juli 138,73 persen,” terangnya.
Pada kondisi tersebut, tercatat kenaikan NTP tertinggi disumbangkan oleh NTP Petani Sawit sebesar 3,83 persen, Petani Karet sebesar 0,16 persen dan Petani kopi dengan 0,03 persen.
Advertisement
Kampanye Negatif
Lebih lanjut, Gulat mengatakan untuk melawan kampanye negatif dengan kampanye positif tidak bisa hanya dilakukan oleh pelaku usaha. Ia meminta peran aktif semua lini termasuk media massa sebagai garda terdepan.
Lebih jauh, ia menegaskan perlu ada kampanye kemanfaatan kelapa sawit dari berbagai aspek, tak hanya dampaknya terhadap ekonomi. ia menilai aspek Ekonomi, Ekologi dan Sosial perlu jadi perhatian kampanye berimbang dalam konteks sawit di Indonesia.
“Kampanye ini sifatnya ofensif (menyerang dalam arti memberitakan manfaat), manfaat yang diberitakan tidak cukup hanya aspek ekonomi, tapi juga aspek ekologi, dan sosial. Ketiga aspek ini harus berimbang dalam konteks sawit Indonesia,” tuturnya.
“Dengan sejahteranya petani dari aspek ekonomi, maka lingkungan juga harus dijaga sesuai Program RAN (Rencana Aksi Nasional) Sawit berkelanjutan,” imbuhnya.
Jika tidak dilakukan langkah-langkah tersebut, Gulat menilai semua tujuan dan targetnya hanya akan jadi sia-sia. “Jadi kampanye positif akan sangat efektif jika semua stakeholder sawit merangkul media sebagai mitra kerja,” katanya.
Peran Kelapa Sawit
Sebelumnya, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan, Kemenko Perekonomian, Moch Edy Yusuf memaparkan peran kelapa sawit dalam perekonomian Indonesia. Ada empat aspek yang ia soroti dalam pemaparannya.
Diantaranya, aspek padat karya, pertumbuhan, kontribusi ekspor, dan mandiri energi. Keempat aspek tersebut meningkat sejalan dengan tumbuhnya ekonomi Indonesia pada triwulan kedua 2021.
Pada gelaran Journalist Fellowship yang diselenggarakan oleh BPDPKS sejak 24 Agustus 2021 lalu, ia memaparkan sektor padat karya mampu menyerap sekitar 4,2 juta pekerja langsung dengan 12 juta pekerja tidak langsung.
Kemudian, mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 persen dari PDB. Lalu, berkontribusi terhadap rata-rata 13,5 persen ekspor non-migas. Dan pada sektor mandiri energi, mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan berbahan dasar sawit, serta dinilai mampu menghemat devisa negara dengan pengurangan impor solar.
Pada kesempatan tersebut, ia juga menyampaikan bahwa menurut data yang dimilikinya, volume ekspor kelapa sawit dan produk turunannya mencatatnya jumah tinggi pada periode 1 Januari hingga 30 Juni 2021.
“Ekspor kelapa sawit dan produk turunannya periode Januari-Juni 2021 mencapai 17,65 juta ton,” tulis materi paparannya.
Advertisement
Tantangan Pengembangan Kelapa Sawit
Kendati telah banyak mencatatkan pencapaian positif dan dampak kampanye Sawit Baik, masih ada beberapa poin yang menjadi tantangan bagi pengembangan kelapa sawit di indonesia.
Setidaknya, ada delapan poin yang dicatat Edy dalam materi paparannya. Yakni, produksi Crude Palm Oil (CPO) yang masih rendah dari potensi yang dimiliki. Menurut catatan tersebut produksi CPO rata-rata sebesar 3,6 ton per hektar per tahun dari potensi 6-8 ton per hektar per tahun.
Kemudian, kampanye hitam atau black campaign yang menerangkan dampak negatif dari keberadaan sawit dan perkebunan sawit. Pada aspek ini, isu deforestasi dan kerusakan lingkungan jadi sorotan banyak organisasi non-profit baik dalam dan luar negeri. Kampanye yang diluncurkan berbagai NGO tersebut dinilai negatif oleh pelaku industri sawit sehingga mampu memengaruhi gejolak ekonominya.
Kemudian, yang juga jadi hambatan adalah indikasi 3 juta hektar sawit berada dalam kawasan hutan. Legalitas dan perizinan juga masih terdapat kendala, yakni masih ada kebun sawit yang belum memiliki legalitas seperti SHM, HGU, dan STDB.
Lalu, harmonisasi PBS/PBS dengan perkebunan rakyat menurunkan provitas. Lalu, hambatan akses pasar di beberapa negara tujuan ekspor, seperti tarif bea masuk yang tinggi, hingga kebijakan anti dumping dan food safety.
Kemudian hilirisasi pengembangan produk turunan CPO yang belum optimal, serta potensi sumber daya belum tergarap maksimal untuk penggunaan energi.
Pada segi produk turunan sawit ini, menurut pantauan ada beberapa produk yang setiap hari bersentuhan dengan kehidupan masyarakat. Baik produk yang bisa digunakan untuk dikonsumsi maupun penggunaan kebersihan.
Diantaranya, ada cokelat atau selai cokelat, margarin atau selai mentega, Kue kering, Mie Instan, Lipstik, sabun, shampo, dan aspek energi bahan bakar adalah bio diesel.
Minyak goreng, sabun, shampo menjadi produk olahan minyak sawit yang terlihat paling dekat dalam penggunaan di masyarakat. Sementara itu, di sisi lain banyak bermunculan alternatif dari produk-produk olahan sawit tersebut. Misalnya pengganti minyak goreng adalah minyak kelapa.