Sri Mulyani: Pajak Karbon Bukan karena Saya Ngamuk

Sri Mulyani mengatakan, dibuatnya pajak karbon adalah salah satu cara untuk mencegah karbon di Indonesia bocor.

oleh Tira Santia diperbarui 14 Des 2021, 14:45 WIB
Diterbitkan 14 Des 2021, 14:45 WIB
DPR Setujui RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers usai rapat paripurna DPR Ke-10 masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Senayan, Jakarta, Selasa (7/12/2021). DPR menyetujui atas RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dibuatnya pajak karbon adalah salah satu cara untuk mencegah karbon di Indonesia bocor dan dibeli murah oleh negara lain.

“Kami bersama para Menko dan menteri KLHK, KESDM dan yang lain-lain mencoba merumuskan jangan sampai karbon di Indonesia itu bocor dibeli lagi murah, dibeli sama orang luar terus diakui sebagai credit-nya di sana,” kata Sri Mulyani dalam sosialisasi UU HPP secara virtual, Selasa (14/12/2021).

Penerapan pajak karbon ini bukan semata-mata pemerintah sembarang menerapkan pajak. Melainkan sebagai upaya peran serta Indonesia dalam menghadapi isu perubahan iklim atau climate change.

“Pajak karbon bukan berarti, wah Bu Sri Mulyani sedang ngamuk segala sesuatu CO2 dipajaki, tidak begitu. Karena DPR pasti mengupayakan agar kita tetap proper. Jadi DPR minta supaya Pemerintah memiliki peta jalan, jadi kita membuatnya,” jelasnya.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan CO2 sebanyak 29 persen, bahkan hingga 41 persen jika dibantu oleh Internasional. Komitmen tersebut dijalankan melalui skema carbon trading.

“Jadi dibuatlah carbon market, sekarang ini kita membuat gape an treat terutama untuk sektor energi, terutama untuk PLTU,” ujarnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tarif Pajak Karbon

DPR Setujui RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat paripurna DPR Ke-10 masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Senayan, Jakarta, Selasa (7/12/2021). Dalam rapat tersebut DPR menyetujui atas RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lanjutnya, pajak karbon akan menjadi instrumen pelengkap dari carbon trading. Oleh karena itu melalui UU HPP ini ditetapkan tarif pajak karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau sekitar USD 2 per ton CO2e.

“Angka ini hampir sama dengan yang di Singapura, tapi kalau dibandingkan negara seperti Kanada yang sudah di USD 45 atau bahkan mendekati USD 75 dalam adjustment tahun ini. Ini sangat murah karbonnya dijual murah, maka kita mencoba membangun,” tegasnya.

Maka dari itu, akhir-akhir ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering mengundang para Dubes Global untuk ikut menanam pohon mangrove. Karena di Indonesia itu kontributor penurunan CO2 yang paling murah, dan mudah adalah sektor forestry termasuk mangrove.

“itu biayanya jauh lebih kecil jadi kita menggunakan semua instrumen itu. Tapi kami akan membangun roadmap ini dan dalam kita mendesain policy ini kita berkoordinasi komunikasi dan terus konsultasi dengan para stakeholder termasuk dalam hal ini KADIN dan APINDO,” pungkas Menkeu.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya