GAPPRI: Industri Tembakau Tak Sedang Baik-Baik Saja

Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dalam 3 tahun terakhir berdampak besar pada bagi kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT).

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2022, 13:30 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2022, 13:30 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyoroti kebijakan pemerintah terkait kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dalam 3 tahun terakhir yang sangat eksesif dan efek berganda (multiplier effect) bagi kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di tanah air.  

Henry Najoan mengungkapkan, kenaikan cukai rokok tahun 2020 saat awal pandemi Covid-19, CHT naik rata-rata 23 persen, Harga Jual Eceran (HJE) naik 35 persen.

Kemudian, tahun 2021 di masa pandemi Covid-19, sambung Henry Najoan, kenaikannya masih sangat luar biasa, CHT naik rata-rata 12,5 persen. Dan, pada tahun 2022, dimana pemerintah masih berupaya memulihkan perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19, disusul kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih lesu, daya beli sangat lemah, CHT naik rata-rata 12 persen. 

Henry Najoan menegaskan kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar, sebagaimana hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021 dinyatakan bahwa peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp53,18 triliun. 

“Sejatinya kondisi industri hasil tembakau legal tidak sedang baik-baik saja. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi riil IHT legal nasional saat ini,” kata Henry Najoan di Jakarta, Jumat (28/1/2022). 

Catatan kritis kedua, menurut Henry Najoan, hingga saat ini penindakan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah belum dapat mengungkap sampai ke ranah hulu (produsen).

Pasalnya, meningkatnya peredaran rokok illegal makin merugikan penerimaan negara, dan merugikan produsen rokok legal serta berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena kualitas rokok ilegal tidak terkontrol mulai dari bahan bakunya sampai proses produksinya. 

Karena itu, untuk melawan perdagangan rokok ilegal, Henry Najoan mendorong pemerintah dengan mempertimbangkan pendekatan multi-metode, termasuk membangun kemitraan, meningkatkan validitas dan keandalan data, meluncurkan kampanye pendidikan dan kesadaran publik.

Kemudiana, meningkatkan upaya peningkatan kapasitas, dan memprioritaskan intensifikasi pemberantasan peredaran rokok illegal Kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.  

“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan  tirani oleh kebijakan cukai,” kata Henry Najoan. 

 

UU HPP

20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Catatan kritis ketiga, kehadiran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Bab VII Cukai, Pasal 40B Ayat (1) menyatakan Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai.

Pada Ayat (2) dinyatakan dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. 

Dalam konteks itu, Henry Najoan menengarai bahwa pelanggaran atas rokok ilegal menggunakan azas ultimum remedium (mengesampingkan pidananya), sehingga ada kesan seolah pemerintah justru menggelar karpet merah atau memberikan insentif bagi rokok ilegal. 

“Jika dugaan itu benar, seharusnya sanksi tegas diberikan bagi pelaku rokok ilegal sehingga memberikan efek jera, bukan diselesaikan secara administratif yang punya kesan negotiable dengan mengesampingkan pidana,” terang Henry Najoan. 

Berdasarkan kajian Tim GAPPRI (2019), dampak ekonomi dari keberadaan industri rokok terhadap perekonomian Indonesia cukup besar. Pada 2019, diperkirakan output yang tercipta dari keberadaan industri ini mencapai Rp 840,9 triliun.

Juga keberadaan industri rokok akan berdampak pada peningkatan nilai tambah ekonomi yang diukur oleh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada 2019, keberadaan industri rokok diperkirakan berkontribusi pada penciptaan PDB sebesar Rp 454,8 triliun.

“Nilai tersebut setara dengan 2,9 persen PDB 2019. PDB tersebut terkumpul dari hampir seluruh aktifitas perekonomian, karena begitu luasnya keterkaitan langsung dan tidak langsung industri rokok, dan kontribusinya bagi penciptaan pendapatan rumah tangga  nasional sebesar Rp141 triliun,” terang Henry Najoan.

 

Lapangan Kerja

Sementara, penciptaan lapangan kerja diperkirakan sebanyak 4,6 juta orang. Dari segi penerimaan negara, diperkirakan pemerintah pusat menerima pajak tidak langsung sebesar Rp 91,3 triliun rupiah, cukai hasil tembakau sebesar Rp188,8 triliun pada tahun 2021 dan sejumlah pajak penghasilan badan, pajak penhasilan karyawan, dan PPN. 

Sayangnya, kenaikan tarif cukai yang eksesif 2 tahun ini, berdampak negatif pada PDB industri hasil tembakau legal dan perekonomian secara umum, mengingat keterkaitan rantai nilai industri hasil tembakau legal sangat panjang.

Merujuk data resmi GAPPRI, sejak tahun 2019 ke tahun 2021 (2 tahun) khusus hanya PDB riil industri hasil tembakau legal turun sekitar Rp8,4 triliun, artinya terjadi penurunan produksi yang diukur secara monoter.  

Kendati dimasukkan inflasi dan faktor kenaikan harga lainnya yang terlihat pada nilai PDB nominal,  PDB nominal IHT pada tahun 2020 turun sebesar Rp5,03 triliun, sementara pada tahun 2021 turun lagi sebesar Rp4,00 triliun.  

Menurut Henry Najoan, penurunan PDB riil dan PDB nominal ini mengindikasikan bahwa industri hasil tembakau legal menjadi korban kebijakan cukai yang seyogianya diberi bantuan penyelamatan oleh pemerintah sesuai amanat UU No 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. 

“Mengingat dampaknya yang besar, kami memandang perlu arah kebijakan cukai hasil tembakau yang memberikan kepastian iklim usaha yang sehat demi kelangsungan industri hasil tembakau nasional,” pungkas Henry Najoan. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya