Pengamat Duga Solar Subsidi Langka Akibat Pertamina Kurangi Pasokan

Kelangkaan solar bersubsidi akan menyebabkan proses distribusi barang hingga sembako menjadi terhambat. Hal ini berpotensi makin menyulut kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Mar 2022, 13:40 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2022, 13:40 WIB
SPBU di Jakarta Pusat Stop Jual Solar Bersubsidi
Kebijakan ini dilatarbelakangi turunnya kuota subsidi BBM di APBN-P 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter, Senin (4/8/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar bersubsidi menghilang di beberapa daerah. Kelangkaan Solar subsidi ini disinyalir karena ada pengurangan stok yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga (PPN).

Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menduga, Pertamina mengurangi pengiriman Solar Subsidi ke SPBU untuk menekan kerugian akibat kian mahal minyak dunia.

"Ada kecenderungan terjadi kelangkaan Solar Bersubsidi bersamaan dengan meroketnya harga minyak dunia. Faktor kebetulan ini semakin menguatkan indikasi bahwa ada strategi Pertamina mengurangi pasokan untuk menekan kerugian akibat biaya produksi semakin membengkak di tengah mahalnya harga minyak dunia," ujarnya kepada Merdeka.com, Jakarta, Selasa (29/3/2022).

Fahmy menyatakan, dugaan terjadinya pengurangan stok ini semakin menguat menyusul pernyataan Pejabat sementara (Pjs) Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting yang mengimbau masyarakat untuk menghemat penggunaan Solar bersubsidi di tengah mahalnya harga minyak dunia.

"Indikasi ini makin menguat dengan pernyataan Ginting yang menghimbau masyarakat untuk lebih hemat menggunakan Solar Subsidi karena harga minyak dunia saat ini sangat mahal," tekannya.

Dia pun mengingatkan, kelangkaan solar bersubsidi akan menyebabkan proses distribusi barang hingga sembako menjadi terhambat. Hal ini berpotensi makin menyulut kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok, yang sebelumnya sudah mengalami kenaikkan signifikan.

"Kalau benar, strategi itu sesungguhnya amat sangat blunder. Pasalnya, pengguna Solar Subsidi selain Nelayan, juga truk pengangkut barang untuk distribusi kebutuhan bahan-pokok," ucapnya.

Untuk mencegah kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok akibat tersumbatnya distribusi, Pemerintah melalui BPH Migas diminta memperketat pengawasan terhadap Pertamina dalam penyaluran Solar Subsisdi. Sehingga, kelangkaan dapat segera dihentikan dalam waktu dekat ini.

Sementara itu, Pejabat sementara (Pjs) Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting masih belum memberikan tanggapan ihwal penyebab kelangkaan solar bersubsidi hingga berita diturunkan.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dirut Pertamina Duga Solar Subsidi Bocor ke Industri Sawit

Pertamina Mulai Sediakan Solar Campur Minyak Sawit
Petugas mengisi BBM kendaraan konsumen di SPBU milik Pertamina di kawasan Jakarta, Selasa (26/11/2019). Implementasi penyediaan solar dengan minyak kelapa sawit sebesar 30% atau B30 lebih cepat satu bulan, dibanding kebijakan pemerintah yang mewajibkan 1 Januari 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menduga Solar subsidi digunakan oleh kalangan yang tak berhak. Ini mengacu pada kegiatan industri yang meningkat namun penjualan Solar nonsubsidi justru menurun.

“Kalau kita lihat porsi dari Solar subsidi itu terhadap keseluruhan penjualan (Solar) ini mencapai 93 persen, jadi nonsubsidi itu hanya 7 persen, ini apakah betul untuk menunjang sektor logistik dan industri yang tak termasuk besar ini 93 persen, ini perlu dilihat dengan APH (Anak Perusahaan Hulu) (jika) antrian yang kita lihat justru dari industri besar seperti sawit dan tambang, Ini harus ditertibkan,” paparnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022).

“Harusnya (Solar subsidi) tidak cover industri tambang dan perkebunan sawit, ada aturannya dalam Perpres,” imbuh Nicke.

Ia menjabarkan, saat ini terjadi disparitas harga yang cukup tinggi antara Solar subsidi dan nonsubsidi. Ia menyebut selisihnya berada di Rp 7.800 per liter antara harga yang ditetapkan dengan harga keekonomian.

Guna memastikan salurannya tepat, ia pun akan mengecek lebih lanjut penjualan Solar subsidi tersebut.

“Jadi inilah yang mendorong juga shifting ataupun ada yang tidak tepat sasaran, jadi kami gandeng APH untuk pengendalian monitoring juga shifting ataupun ada yang tidak tepat sasaran. Jadi kami gandeng APH untuk pengendalian monitoring di lapangan agar ini sesuai dengan yang diperuntukkan,” paparnya.

Dengan adanya data tersebut, ia menduga ada kebocoran penggunaan Solar subsidi oleh pihak yang tidak seharusnya. Ini juga berkaitan dengan aktivitas industri yang belakangan mengalami kenaikan seiring dengan penjualan Solar nonsubsidi yang menurun.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya