Liputan6.com, Jakarta - Gubernur bank sentral Sri Lanka Nandalal Weerasinghe, telah memperingatkan bahwa negaranya dapat ditutup jika tidak ada pembentukan pemerintahan yang stabil.
Dilansir dari BBC, Jumat (15/7/2022) Nandalal Weerasinghe mengungkapkan, ada banyak ketidakpastian mengenai keterersediaan devisa untuk membayar pembelian minyak esensial.
Baca Juga
Kemajuan dalam mendapatkan paket bailout internasional tergantung pada administrasi yang stabil, katanya dalam wawancara bersama program Newsnight BBC.
Advertisement
"Kami telah mampu membiayai setidaknya tiga pengiriman solar mungkin sampai akhir bulan ini dan sekitar satu atau dua pengiriman bensin, tetapi di luar itu, ada banyak ketidakpastian apakah kami akan mampu menyediakan devisa yang cukup untuk membiayai minyak esensial untuk negara ini," ungkap dia.
"Kalau itu tidak terjadi, maka seperti (seluruh) negara akan ditutup. Makanya saya butuh perdana menteri, presiden, kabinet, yang bisa membuat keputusan... Tanpa itu, semua orang akan menderita," ucapnya.
Weerasinghe telah mengadakan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang paket bailout untuk Sri Lanka.
"Kami berharap dapat membuat kemajuan yang baik dalam diskusi dengan para kreditur untuk penataan utang, tetapi waktu untuk proses itu (tergantung) seberapa cepat akan ada administrasi yang stabil," kata Weerasinghe.
Dia menyebut, ketika pemerintahan yang stabil terbentuk, Sri Lanka dapat keluar dari krisis dalam tiga atau empat atau lima bulan mendatang.
Gubernur bank sentral sendiri telah dilihat sebagai calon presiden Sri Lanka yang potensial, tetapi dia tampaknya mengesampingkan kemungkinan tersebut.
"Saya tidak tertarik untuk ... mengambil posisi politik apa pun," jelas Weerasinghe.
Diketahui bahwa Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi dengan kebangkrutan besar, dan diperparah dengan kekurangan pangan dan stok energi.
9 Negara Terancam Bangkrut Seperti Sri Lanka
Laporan yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis bulan lalu menjadi sorotan karena mengungkapkan sederet 9 negara yang terancam bangkrut seperti Sri Lanka.
Diketahui bahwa Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarahnya, ketika negara itu melihat kekurangan pangan dan energi hingga utang yang menyulitkan untuk membeli stok BBM.
Dilansir dari Associated Press, Rabu (13/7/2022) laporan PBB bertajuk Global Crisis Response Group itu mencatat, ada sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara yang menghadapi setidaknya satu kasus krisis pangan, energi dan sistem keuangan.
PBB dalam laporan ini juga menyebut sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara yang tengah mengalami badai ekonomi dan sangat rentan terhadap krisis biaya hidup.
Penyebab pasti krisis ini bervariasi, tetapi sebagian besar risiko yang meningkat dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar, didorong lebih tinggi oleh perang Rusia-Ukraina, ketika gangguan terhadap pariwisata dan aktivitas bisnis lainnya dari pandemi Covid-19 baru mereda.
Karena masalah itu, Bank Dunia memperkirakan bahwa pendapatan per kapita di negara berkembang hanya akan mencapai 5 persen di bawah tingkat pra-pandemi tahun ini.
Berikut adalah 9 negara yang disebut terancam bangkrut seperti Sri Lanka :
Afghanistan
Afghanistan telah terhuyung-huyung dari krisis ekonomi sejak Taliban mengambil alih negara itu setelah Amerika Serikat dan NATO menarik pasukan mereka tahun lalu.
Bantuan asing, yang telah lama menjadi andalan berhenti datang sejak penarikan pasukan AS, diikuti oleh sanksi, pemberhentian transfer bank dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden juga membekukan cadangan mata uang asing Afghanistan sebesar USD 7 miliar yang disimpan di Amerika Serikat.
Sekitar setengah dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa dan sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat, dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.
Krisis ekonomi di Afghanistan juga diperparah dengan bencana gempa bumi baru-baru ini yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa.
Advertisement
2. Argentina
PBB mengungkapkan, sekitar empat dari setiap 10 orang Argentina dalam keadaan ekonomi yang sulit dan bank sentralnya kehabisan cadangan devisa karena mata uang yang melemah.
Inflasi Argentina diperkirakan akan melebihi 70 persen tahun ini.
Jutaan orang Argentina bertahan hidup sebagian besar berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak di antaranya disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat secara politik terkait dengan partai yang berkuasa.
Kesepakatan baru-baru ini dengan IMF untuk merestrukturisasi utang Argentina sebesar USD 44 miliar masih menjadi pertanyaan atas konsesi yang menurut para kritikus akan menghambat pemulihan.
3. Mesir
Inflasi Mesir melonjak hampir 15 persen pada April 2022. Hal ini mengakibatkan sepertiga dari 103 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Masyarakat Mesir juga sudah kesusahan karena program reformasi ambisius pemerintahnya membuat mata uang mereka mengambang dan memangkas subsidi bahan bakar, air, hingga listrik.
Ditambah lagi, kebijakan bank sentral Mesir yang menaikkan suku bunga demi mengekang laju inflasi telah menyulitkan pemerintahnya membayar utang luar negeri yang menumpuk.
4. Laos
Tingkat utang Laos telah melonjak dan seperti Sri Lanka, Laos sedang dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar.
Cadangan devisanya jugankurang dari dua bulan impor, kata Bank Dunia. Mata uang Laos juga anjlok hingga 30 persen.
5. Lebanon
Selain Laos, Lebanon juga melihat keruntuhan mata uang, tingkat inflasi yang mendorong kelaparan, hingga antrian gas.
Lebanon juga gagal membayar utang mereka senilai USD 90 miliar atau setara Rp 1,3 kuadriliun. Rasio utangnya pun meningkat hingga mencapai 170 persen terhadap PDB.
Bank Dunia mengungkapkan, krisis ekonomi Lebanon menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.
6. Myanmar
Pandemi covid-19 dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama menyusul aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Menyusul kudeta, Myanmar pun dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis secara besar-besaran. Ekonomi Myanmar terkontraksi minus 18 persen pada tahun lalu dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.
Dilaporkan ada lebih dari 700 ribu orang di Myanmar yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi.
Dengan situasi yang rumit itu, Bank Dunia tidak mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.
Advertisement
7. Pakistan
Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan mendesak dengan IMF, berharap untuk menghidupkan kembali paket bailout senilia USD 6 miliar yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan lengser pada April 2022.
Melonjaknya harga minyak mentah di Pakistan telah mendorong naiknya harga bahan bakar hingga memicu kenaikan biaya lainnya.
Mata uang rupee Pakistan pun merosot 30 persen terhadap dolar AS tahun lalu dan cadangan devisanya turun menjadi hanya USD 13,5 miliar atau setara dua bulan impor.
"Risiko ekonomi makro sangat condong ke bawah," Bank Dunia memperingatkan dalam catatan terbarunya.
8. Zimbabwe
Pada tahun 2008 silam,Zimbabwe pernah menyandang status hiperinflasi ketika inflasinya mencapai 500 miliar persen.
Kekhawatiran tersebut meningkat karena inflasi Zimbabwe saat ini sudah menyentuh 130 persen.
Masalah ekonomi Zimbabwe sudah menahun dan semakin parah karena korupsi, rendahnya investasi yang masuk, dan tumpukan utang.
Ditambah lagi, warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang negara mereka dan memilih menyimpan uang dalam bentuk dolar AS.
9. Turki
Turki menghadapi krisisi setelah inflasi mencapai lebih dari 60 persen. Sejak tahun lalu, mata uang lira Turki telah jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dolar AS.
Kebijakan pemangkasan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam lonjakan inflasi yang diambil Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan disebut gagal mendorong Turki keluar dari krisis.