Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau disebut BCA menyebutkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan atau NPL) turun dari 2,4 persen menjadi 2,2 persen. Hal itu tercermin dari pemulihan setelah pandemi COVID-19.
"Untuk NPL semester II ini di bulan Juli, NPL turun dari 2,4 ke 2,2 kita perkiraan sampai akhir tahun di kisaran ini. Sebenarnya mendekati sebelum pandemi,” kata Direktur BCA Vera Eve Lim, dalam konferensi pers BCA, Rabu (27/7/2022).
Baca Juga
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja mengatakan, BCA akan memberikan kredit terhadap suatu perusahaan yang memiliki kinerja baik.
Advertisement
“Kalau di sektor-sektor tertentu kita secara general mengamati seluruh performance (kinerja) suatu perusahan,” ujarnya.
Dia menambahkan, BCA juga akan memberikan pinjaman per perusahaan bukan sektoral.
"Meskipun sektornya jelek, company nya bagus, performance bagus, ya harus dikasih kredit. Sebaliknya, kalau di sektor bagus, pengelolanya tidak benar sudah over kredit ya mungkin kita enggak bantu, tetapi itu secara general. Artinya kita, lebih per debitur, debitur, butuh dibantu atau tidak, butuh kredit atau tidak,” ungkapnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tren Kredit pada Semester II
Di sisi lain, BCA mencermati tren kredit pada semester II 2022 antara lain, kredit investasi dan kredit modal kerja (KMK) yang meningkat.
"Kita harus lihat, pertama kita bersyukur sekali mobilitas masyarakat balik normal bukan hanya Jakarta, tapi Bali dan kota-kota lain bahkan Singapura kita melihat kehidupan back to normal,” ujar Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja dalam konferensi pers BCA, Rabu, 27 Juli 2022.
Artinya, secara ekonomi permintaan pembelian barang dan jasa meningkat. Hal itu tercermin dari aktivitas masyarakat yang sudah mulai bisa berbelanja.
"Jasa volume transaksi perbankan naik, mutasi ini tinggi sekali kenaikannya. Tiket pesawat bandara penuh orang yang antri untuk bepergian ini menandakan back to normal,” ujar dia.
Dia menambahkan, permintaan kredit meningkat meningkat, secara tahunan kredit BCA 13,8 persen.
"Memang ada dua hal, kita melihat kredit investasi ada industri tertentu ke depan bisa ekspansi, berkembang dan mempersiapkan kredit investasi,” ujar dia.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kredit Modal Kerja
Sedangkan, kredit modal kerja meningkat bisa karena volume perdagangan sudah kembali normal.
"Banyak produksi manufakturing dari pabrik kita berdasarkan impor meningkat harganya, logistiknya lebih tinggi dari semula,” ujar dia.
Jahja menuturkan, setiap industri memiliki risiko berbeda seiring ada tantangan inflasi. Perseroan pun mengamati kinerja dari nasabah secara menyeluruh.
"Buat kita, tentu kita amati sekali performance daripada nasabah debitur kita. Karena beda sekali satu industri ke industri lainnya, beda karena yang terkena juga beda. Kita tidak boleh menyamaratakan semua harus melihat industri yang agak berat menghadapi risiko inflasi tadi dan juga industri yang lagi bagus,” tegasnya.
Sedangkan, aktivitas BCA lebih ke kinerja debitur dan memberikan dukungan ketika debitur membutuhkan.
"Aktivitas kita lebih ke performance debitur dan mensupport mereka dimana diperlukan. KMK udah pasti ada kebutuhan meningkat jg kita harus memberikan plafon kredit lebih kalau dibutuhkan,” pungkasnya.
Bakal Revisi Pertumbuhan Kredit
Sebelumnya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mengungkapkan akan merevisi rencana bisnis bank (RBB) dengan mengubah target kredit pada 2022.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja mengatakan, BCA akan revisi target pertumbuhan kredit dari 8 persen menjadi 10 persen pada 2022.
“Kalau tadinya sekitar 8 persen sekarang mulai berkisar kearah 10 persen, supaya kita memang lebih optimis,” kata Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja dalam konferensi pers, Rabu (27/7/2022).
Dia menambahkan, rencana untuk meningkatkan kredit itu potensinya memang cukup besar dan pihaknya berharap ini akan terus membantu pemulihan ekonomi Indonesia khususnya yang terkena pandemi COVID-19.
"Meskipun sekarang yang kita hadapi adalah kenaikan-kenaikan harga-harga bahan baku dari hampir semua perusahaan itu meningkat, sehingga kalau mereka tidak bisa menjual atau daya beli masyarakat belum bisa mengabsorb itu maka perusahaan ini untuk sementara mengalami profitabilitinya akan berkurang,” ujar dia.
Jahja menilai dampak COVID-19 sudah mengalami pemulihan. Namun, karena masalah ekonomi global, terdapat tantangan baru yang harus dihadapi.
"Kita tahu harga minyak meningkat, harga minyak goreng sempat menjadi topik yang menarik karena kenaikan-kenaikan harga di luar negri luar biasa, kemudian kita lihat juga misalnya untuk bahan-bahan baku lain, karena apa transportasi dan namanya impor pasti menggunakan logistik-logistik company dengan kapal dan itu meningkat biaya kontainer semua meningkat,” ungkapnya.
Jahja menambahkan, saat ini eksportir menikmati masa keemasan seiring dolar AS yang menguat.
"Menyebabkan fokus terhadap perusahaan-perusahaan, kita tentu setiap perusahaan berbeda mungkin untuk eksportir mungkin ini masa keemasan mereka menikmati dolarnya lebih banyak rupiah yang didapat kemudian industri seperti CPO, pertambangan batu baru dan nikel tembaga alumina itu menikmati kenaikan komoditas buat mereka mendapatkan income lebih besar,” ujar dia.
Advertisement