Setiap The Fed Naikkan Bunga, Negara Berkembang Selalu Krisis

Selama ini negara berkembang selalu menjadi pihak yang terdampak saat The Fed menaikan suku bunga acuan.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Okt 2022, 11:32 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2022, 11:31 WIB
Raker Kemenkeu dengan Komisi XI DPR RI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/1/2022). Rapat kerja tersebut terkait evaluasi APBN tahun 2021 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 serta rencana PEN 2022. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, setiap kebijakan yang dijalankan oleh negara maju akan selalu berdampak kepada negara berkembang. Terbaru, langkah menaikkan suku bunga yang dijalankan oleh Bank Sentral AS atau the Fed bisa memicu krisis keuangan di negara berkembang.

"Dalam 30 atau 40 tahun terakhir, setiap kali Federal Reserve menaikkan suku bunga mereka, selalu ada korelasi yang cukup kuat dari krisis keuangan di banyak negara berkembang," kata Sri Mulyani dalam acara T20 Summit di Washington DC, seperti dikutip pada Selasa (11/10/2022). 

Selama ini negara berkembang selalu menjadi pihak yang terdampak saat The Fed menaikan suku bunga acuan.  Hal ini berkaca dari krisis-krisis yang terjadi sebelumnya. Saat ini risiko krisis di negara berkembang pun juga tengah menghantui. Ditambah lagi, beberapa negara berkembang masih berusaha bangkit dari dampak pandemi Covid-19.

Dalam kondisi demikian, berbagai negara akhirnya menggunakan instrumen fiskalnya untuk melakukan counter cyclical dengan melebarkan defisit terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jadi, sekali lagi, (negara) menggunakan jalur fiskal mereka untuk counter cyclical, artinya mereka harus melebarkan defisit," tutur Sri Mulyani.

Sebagai informasi, counter cyclical merupakan upaya mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak ketika kondisi ekonomi sedang booming. Konsep ini juga bermakna meningkatkan pengeluaran dan memangkas pemungutan pajak ketika sedang dalam masa resesi.

Strategi ini kata Sri Mulyani digunakan Pemerintah Indonesia ketika terjadi pandemi Covid-19. Pemerintah dengan izin DPR sepakat memperlebar defisit APBN di atas 3 persen selama 3 tahun yakni 2020-2022.

Sehingga di tahun 2023, defisit fiskal kembali mengikuti aturan yakni kembali di bawah 3 persen dari APBN tahun berjalan. "Tiga persen ini adalah disiplin fiskal yang telah kami adopsi selama 20 tahun," katanya.

Di Tengah Peringatan Resesi, The Fed Masih Bersikeras Bakal Menaikan Lagi Suku Bunga

The Fed
The Fed (www.n-tv.de)

Anisyah Al FaqirGubernur Federal Reserve atau The Fed, Lisa Cook mengatakan bahwa Amerika Serikat masih memerlukan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk mendinginkan inflasi.

Karena inflasi tahunan AS telah melonjak ke laju tercepat dalam 40 tahun, The Fed telah bergerak agresif tahun ini untuk mengurangi permintaan, menaikkan suku bunga hingga lima kali, dengan total tiga poin persentase.

"Inflasi tetap tinggi dan tidak dapat diterima, dan data selama beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa tekanan inflasi tetap berbasis luas," kata Cook dalam pidato pertamanya sebagai anggota dewan bank sentral AS, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (7/10/2022).

Sementara The Fed tidak dapat bertindak langsung pada pasokan, maka diupayakan moderasi permintaan dengan mengetatkan kebijakan moneter, kata Cook di Peterson Institute for International Economics.

"Kami akan terus melakukannya sampai pekerjaan selesai," ujar dia.

"Memulihkan stabilitas harga kemungkinan akan membutuhkan kenaikan suku bunga berkelanjutan dan kemudian menjaga kebijakan tetap ketat untuk beberapa waktu sampai kami yakin bahwa inflasi berada di jalur yang tepat menuju tujuan dua persen kami," beber Cook.

Sebelumnya, konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah memperingatkan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, termasuk kenaikan suku bunga The Fed dapat mendorong resesi dan stagnasi global.

UNCTAD menyebut, ekonomi Asia dan global menuju resesi jika bank sentral terus menaikkan suku bunga tanpa mengambil langkah lain dan melihat ekonomi sisi penawaran, menambahkan bahwa soft landing yang ditargetkan kemungkikan tidak terjadi.

"Hari ini kita perlu memperingatkan bahwa kita mungkin berada di tepi resesi global yang disebabkan oleh kebijakan," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan, dikutip dari CNBC International.

"Kita masih punya waktu untuk mundur dari tepi resesi. Tidak ada yang tak terelakkan. Kita harus mengubah arah," pungkasnya.

 

Pejabat The Fed Perkuat Kemungkinan Kenaikan Suku Bunga Lainnya

Ilustrasi The Fed
Ilustrasi The Fed

Senada dengan Lisa Cook, pejabat The Fed lainnya, yakni Christopher Waller juga melihat tekanan harga, termasuk pada pasar perumahan AS, membuat inflasi "tidak mungkin turun dengan cepat".

"Kami belum membuat kemajuan yang berarti pada inflasi, dan sampai kemajuan itu bermakna dan terus-menerus, saya mendukung kenaikan suku bunga yang berkelanjutan," kata Waller dalam pidatonya.

Waller mengatakan bahwa selain kemungkinan kenaikan suku bunga pada bulan November dan Desember, "Saya mengantisipasi kenaikan suku bunga tambahan hingga awal tahun depan."

Dia juga mengesampingkan spekulasi bahwa pergerakan tajam di pasar keuangan dapat menyebabkan The Fed melonggarkan sikap agresifnya.

"Ini bukan sesuatu yang saya pertimbangkan atau percaya sebagai perkembangan yang sangat mungkin," katanya, mencatat bahwa "pasar beroperasi secara efektif" dan The Fed memiliki cara untuk mengatasi ketegangan. 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Infografis Prediksi Perekonomian 60 Negara Bakal Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Prediksi Perekonomian 60 Negara Bakal Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya