Sanki Baru Perang Rusia-Ukraina, AS Bakal Larang Impor Aluminium Rusia

Jika sanksi terhadap aluminium Rusia diberlakukan, hal ini dikhawatirkan dapat mendorong efek pada rantai pasokan global.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 21 Okt 2022, 20:36 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2022, 20:35 WIB
Aluminium
Ilustrasi Foto Aluminium (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dikabarkan sedang mempertimbangkan larangan impor aluminium dari Rusia, dalam kecaman terbaru atas perang Rusia-Ukraina.

Langkah tersebut, yang belum mencapai keputusan, dikhawatirkan akan menambah tingginya harga komoditas secara global untuk logam yang digunakan dalam berbagai produk.

"Kami selalu mempertimbangkan semua opsi," kata seorang pejabat Gedung Putih, dikutip dari CNBC International, Jumat (21/10/2022).

"Belum ada pergerakan untuk saat ini,"ungkap pejabat itu.

Ahli strategi komoditas ekonomi ING Ewa Manthey, memperkirakan bahwa, jika AS menjatuhkan sanksi terhadap produsen aluminium Rusia, Rusal, langkah itu mungkin memiliki konsekuensi untuk rantai pasokan aluminium global.

Manthey mengatakan ini terlihat pada 2018 ketika Departemen Keuangan AS terakhir kali menjatuhkan sanksi kepada miliarder Rusia Oleg Deripaska dan perusahaan yang dimilikinya, termasuk Rusal.

Diketahui, Rusal tidak hanya produsen utama aluminium primer, tetapi juga tertanam dalam rantai pasokan global yang dibutuhkan untuk membuat logam, bauksit dan alumina, tambahnya.

"Sanksi terhadap Rusal pada tahun 2018 mempengaruhi operasi di Guinea dan Jamaika, sementara pabrik peleburan di Eropa berjuang untuk mengamankan pasokan bahan baku," ungkap Manthey.

Di China, sejauh inihanya ada sedikit tanda permintaan aluminium dapat meningkat dengan cepat mengingat Presiden Xi Jinping telah memberi isyarat pada pertemuan Partai Komunis di Beijing akan tetap memberlakukan kebijakan nol Covid-19.

Masalah ini pun diperburuk oleh melemahnya permintaan di negara lain menyusul kenaikan suku bunga yang dramatis, kata Tanners.

Produsen aluminium seperti Alcoa di AS, dan beberapa lainnya di Eropa juga menghadapi biaya operasional yang tinggi, sebagian besar karena melonjaknya harga listrik, ungkap Tanners.

"Daya listrik adalah sekitar 30 persen dari total biaya untuk pabrik peleburan aluminium sehingga mereka benar-benar terjepit di beberapa operasi Eropa," bebernya.

Kekhawatiran Potensi Pembuangan Aluminium Asal Rusia

Aluminium
Ilustrasi Foto Aluminium (iStockphoto)

Sementara di Inggris, stok aluminium di gudang London Metals Exchange (LME) awal pekan ini melonjak, memicu kekhawatiran potensi pembuangan aluminium asal Rusia.

Sebagai informasi, logam yang tidak terjual di Inggris cenderung berakhir di sistem pergudangan LME, yang merupakan gudang yang diizinkan oleh bursa untuk menyimpan logam yang terdaftar di LME.

"Sangat mengecewakan bagi pasar aluminium untuk melihat pukulan ganda dari melemahnya permintaan global, di China khususnya, tetapi juga Rusia membuang aluminium di pasar global," kata analis pertambangan dan logam di Wolfe Research, Timna Tanners.

"Jadi pasti kuartal ini mencerminkan tantangan-tantangan itu,"  ujarnya kepada CNBC di segmen "Squawk Box Asia."

Sementara LME tidak mempublikasikan dari mana aluminium bersumber ketika persediaan meningkat, kenaikan stok global adalah pertanda buruk mengingat harga logam dasar telah dilanda kekhawatiran resesi, menurut Vivek Dhar, analis komoditas pertambangan dan energi di CBA.

Setiap masuknya aluminium Rusia ke gudang LME juga menimbulkan masalah yang lebih kompleks, kata Dhar dalam sebuah catatan.

"Harga LME bisa diperdagangkan dengan diskon ke fundamental jika pertukaran menjadi tempat pembuangan logam Rusia,: katanya, mencatat bahwa Rusia menyumbang sekitar 17 persen dari produksi aluminium dunia.

"LME sangat menyadari masalah ini," sebutnya.

 

Negara G20 Sebut Perang Rusia-Ukraina Perparah Krisis Pangan Global

FOTO: Rusia Tekan Invasi Sampai ke Pinggiran Ibu Kota Ukraina
Tentara Ukraina mengambil posisi di pusat Kota Kiev, Ukraina, Jumat (25/2/2022). Rusia menekan invasinya sampai ke pinggiran Kiev setelah melepaskan serangan udara di kota-kota dan pangkalan militer serta mengirimkan pasukan dan tank dari tiga sisi. (AP Photo/Emilio Morenatti)

 Para Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian Negara Anggota G20 sepakat ancaman krisis pangan sudah terjadi sejak awal 2020 ketika pertama kali Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pandemi Covid-19 di bulan Maret. Apalagi di saat yang bersamaan ada ancaman perubahan cuaca ekstrem di seluruh dunia.

Ancaman krisis pangan pun terus berlanjut hingga penyebaran virus corona mulai terkendali. Namun kondisinya makin parah ketika Rusia melakukan invasi kepada Ukraina di bulan Februari 2022.

Sebagian besar negara anggota G20 pun meminta Rusia segera mengakhiri perang. Cara ini menjadi salah satu kunci penting mengakhiri ancaman krisis pangan dunia.

"Banyak anggota menyatakan pandangan bahwa perang Rusia melawan Ukraina memperburuk kerawanan pangan global dan menyerukan mengakhiri perang," dikutip dari dokumen Rangkuman Hasil Pertemuan Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (18/10/2022).

Menanggapi itu, satu anggota G20 menilai sanksi sepihak yang diterima Rusia justru yang memicu munculnya krisis pangan. Sebab, pasca invasi di Ukraina sejumlah negara barat menjatuhkan sanksi ke Moskow. Salah satunya sanksi terhadap dunia lembaga keuangan besar Rusia dan utang negara Rusia.

"Satu anggota menyatakan pandangan bahwa sanksi sepihak berdampak negatif terhadap kerawanan pangan global," tulis dokumen tersebut.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia?
INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya