Pembangkit Panas Bumi Bisa Jadi Pondasi Suplai Listrik, Tapi Simpan Risiko Investasi

Direktur Jenderal EBTKE Yudo Dwianda Priaadi mengatakan menyimpan potensi hingha 23 gigawatt (GW). Namun, hingga saat ini baru terpasang sekitar 2,4 GW.

oleh Arief Rahman H diperbarui 20 Sep 2023, 18:15 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2023, 18:15 WIB
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwianda Priaadi dalam 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023, di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2023).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwianda Priaadi dalam 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023, di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2023).

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM mencatat potensi pembangkit panas bumi di Indonesia cukup besar. Namun, investasi di bidang ini menghadapi sejumlah risiko.

Direktur Jenderal EBTKE Yudo Dwianda Priaadi mengatakan, Indonesia menyimpan potensi energi panas bumi hingga 23 gigawatt (GW). Namun, hingga saat ini baru terpasang sekitar 2,4 GW.

"Panas bumi sangat menjanjikan untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik beban dasar yang kontinyu menyuplai listrik dan dapat menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional," kata dia dalam 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023, di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2023).

"Dengan demikian pengembangan panas bumi diharapkan mencapai 3,3 GW pada tahun 2030," sambungnya.

Meski ada potensi yang menjanjikan tadi, Yudo tak menutup mata kalau investasi di sektor panas bumi ini menyimpan risiko.

"Namun demikian investasi panas bumi memiliki risiko yang cukup tinggi termasuk pada tahap eksplorasi dan kebutuhan infrastruktur," kata dia.

Yudo mengatakan, untuk mengurangi risiko tersebut, pemerintah ikut turun tangan. Misalnya, untuk penguatan data panas bumi di Indonesia dan infeastruktur seperti akses jalan. Akses jalan ini akan bisa dimanfaatkan oleh masyarakar sekitar proyek.

"Untuk mengurangi risiko tersebut, program pengeboran pemerintah telah dilaksanakan dengan meningkatkan kualitas data panas bumi. Rencananya akan dilakukan pada 20 WK panas bumi sampai dengan tahun 2024 sebesar 683 MW," bebernya.

"Sedangkan untuk kebutuhan infrastruktur seperti jalan akses menuju lokasi proyek akan dikondisikan dengan Kementerian PUPR," imbuh Yudo.

Pemanfaatan Teknologi

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwianda Priaadi dalam 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023, di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2023).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwianda Priaadi dalam 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023, di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2023).

Lebih lanjut, Yudo juga menyoroti soal pemanfaatan teknologi untuk menunjang pengembangan pembangkit panas bumi. Menurutnya, teknologi bisa mempercepat hal tersebut.

"Terobosan dalam penggunaan teknologi juga akan berperan pentinf salam mempercepat pemanfaatan panas bumi karena dapat mengoptimalkan kapasitas pembangkitan tetutama dengan biaya yang lebih rendah," kata dia.

"Dengan teknologi sesuai kita juga dapat mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya panas bumi yang memiliki entalpi (jumlah energi dalam suatu sistem untuk menghasilkan tekanan tetap) menengah dan juga rendah yang saat ini masih melimpah di Indonesia dan belum dimanfaatkan," jelasnya.

Pertumbuhan Pembangkit Panas Bumi Lambat

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi dalam The 9th Indonesia International Geothermal Covention & Exhibition di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi dalam The 9th Indonesia International Geothermal Covention & Exhibition di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).

Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) mencatat pertumbuhan kapasitas terpasang untuk pembangkit panas bumi masih terbilang lambat. Padahal, Indonesia sudah memulai pemanfaatannya sejak 1984 lalu.

Ketua API Prijandaru Effendi mengungkap saat itu Pertamina Geothermal Energy mengelola sekitar 30 MW. Namun pertumbuhannya dinilai lambat atau hanya sekitar 60 MW per tahun hingga saat ini.

"Hingga saat ini terpasang sudah 2.378 MW, atau rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang pertahunnya hanya sekitar 60 MW," kata dia dalam The 9th Indonesia International Geothermal Covention & Exhibition di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).

Prijandaru mengatakan laju pertumbuhan kapasistas terpasang pembangkit panas bumi itu jauh dari sumber daya yang dimiliki sekitar 24 ribu Megawatt. Serta. Dengan cadangan saat ini yang diperkirakan sebanyak 14 ribu MW.

Penyebab Pengembangan Lambat

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi dalam The 9th Indonesia International Geothermal Covention & Exhibition di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi dalam The 9th Indonesia International Geothermal Covention & Exhibition di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).

Dia mengantongi sejumlah alasan lambatnya pertumbuhan kapasitas terpasang tadi. Dimana, solusinya juga tengah dicari seluruh pihak terkait. Pertama, adanya kesenjangan harga dengan nolai keekonomian.

Lalu, ada disparitas antara harga dan nilai keekonomian dan proyek yang menarik bagi investor. Tak cuma itu, dia menyoroti juga soal kerap berubahnha aturan yang memberikan ketidakpastian.

"Sesuai dengan tingginya risiko investasi dan harga yang terjangkau oleh satu-satunya pembeli yaitu PT PLN (Persero)," kata dia.

"Serta seringnya perubahan peraturan yang mengakibatkan ketidakpastian bagi pertumbuhan panas bumi," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya