Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menilai aksi boikot produk yang dilakukan masyarakat terkait produk terafiliasi dengan Israel merupakan hak konsumen. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai wajar jika konsumen melakukan boikot produk yang terafiliasi dengan Israel. Karena, perusahaan produk tersebut dinilai melanggar HAM.
"Hak konsumen, karena konsumen itu tidak hak kenyamanan saja ketika mengonsumsi produk, tapi rantai pasoknya juga harus sama dalam arti rantai pasok juga harus tidak melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum, seperti tidak melanggar pajak, tidak membayar buruhnya ataupun juga melanggar HAM," kata Tulus kepada media, Kamis (16/11/2023).
Baca Juga
Tulus Abadi mengatakan, YLKI juga pernah melakukan kampanye untuk memboikot beberapa barang yang dianggap melanggar HAM, karena membayar rendah upah buruhnya, seperti kasus perusahaan sepatu Nike.
Advertisement
"Waktu kasus Nike kita action bersama untuk melakukan (boikot) produk tertentu. Jadi aksi boikot dengan asumsi produsen itu melanggar hak atau melanggar hukum atau tidak melanggar pajak itu sebagai bentuk tanggungjawab konsumen," katanya.
Menurut YLKI, jika konsumen mengkonsumsi produk yang melanggar hukum maupun HAM, maka termasuk berkontribusi atau mendukung pelanggaran yang dilakukan perusahaan produk tersebut.
"Kalau kita mengkonsumsinya berarti kita ikut berkontribusi, misalnya dia tidak memperlakukan buruhnya dengan baik jadi konsumen ikut mengonsumsi menindas hak-hak buruh," ujarnya.
Lebih lanjut, pihaknya juga mengomentari pernyataan pengusaha ritel modern yang menyebutkan bahwa aksi boikot produk yang pro Israel itu justru mencoreng hak konsumen.
YLKI pun menghormati pendapat dari pengusaha ritel, namun ia menegaskan kembali bahwa dalam hak konsumen juga perlu memperhatikan aspek penting lainnya yakni aspek moral. Jika perusahaan produk itu terbukti melakukan pelanggaran, maka konsumen berhak melawan dengan cara tidak membeli produk tersebut.
"Iya itu hak Aprindo untuk peritel untuk mengatakan tapi didalam kita menggunakan satu barang memang satu hal yg harus diperhatikan adalah apakah perusahaan tersebut itu melakukan pelanggaran hukum atau tidak termasuk pelanggaran HAM," ujarnya.
"Jadi, kalau barang tersebut diproduksi oleh produsen-produsen yang melanggar HAM terlepas dari kasus Israel itu memang konsumen secara moral juga harus melakukan perlawanan untuk tidak membeli itu," pungkasnya.
Â
Pengusaha Ritel Kritik Keras Fatwa MUI soal Produk Pro Israel Haram
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu telah mengeluarkan fatwa terbaru tentang hukum dukungan terhadap perjuangan Palestina. Oleh sebab itu, fatwa MUI menetapkan bahwa membeli produk yang mendukung Israel hukumnya haram.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menilai dikeluarkannya fatwa baru itu merugikan hak konsumen.
Aprindo pun mempertanyakan apakah ada kajian dan observasi resmi terkait fatwa tersebut. Pasalnya hak konsumen itu adalah memilih, membeli, dan mendapatkan produk. Maka ketika produk-produk yang dinilai mendukung Israel diharamkan, hak konsumen tercoreng.
"Kita perlu mempertanyakan observasi yang dibilang atau dikaitkan dengan Israel, itu bagaimana relevansinya. Silakan semua orang boleh beropini dan pendapat, tapi pengkajian dan observasinya sejauh mana?" kata Roy Mandey dalam konferensi Pers atas Ajakan dan aksi Boikot pada Produk/Brand Makanan dan Minuman pada sektor perdagangan Indonesia, di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Roy menegaskan, bahwa hak memilih, membeli, mengkonsumsi adalah hak konsumen yang mutlak. Oleh karena itu, hak konsumen perlu dijaga marwahnya.
"Karena konsumen ketika berbelanja ketika mereka konsumsi, maka kontribusinya ke ekonomi. Karena konsumsi rumah tangga kita 51,8 persen dari konsumsi rumah tangga," ujarnya.
Advertisement
Bisnis Ritel Terganggu
Selain merugikan hak konsumen, fatwa tersebut juga berdampak pada bisnis ritel. Pasalnya, banyak produk-produk yang dinilai pro Israel diproduksi di dalam negeri, dan juga mempekerjakan tenaga kerja di Indonesia.
Menurutnya, jika permasalahan ini tidak cepat diselesaikan maka akan mengganggu produktivitas bisnis ritel, dan juga akan berpengaruh terhadap investasi, pertumbuhan ekonomi akan turun, bahkan bisa menciptakan pengangguran baru.
"Bisa kita bayangkan ketika tergerus produsennya atau supplier, maka investasi bisa hilang dan kandas. Pertumbuhan tidak bisa terjadi, bahkan yang paling enggak mau dilakukan pengusaha, yaitu pengurangan tenaga kerja atau PHK. Bagaimana mungkin kalau produktivitas turun bagaimana membayarkan tenaga kerja," katanya.