PPN Bakal Naik Jadi 12 Persen, Ini Sederet Bahayanya

Ekonom menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dapat berdampak ke berbagai sektor, mulai dari manufaktur, hingga daya beli.

oleh Tira Santia diperbarui 24 Mar 2024, 12:00 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi Pajak (2)
Ekonom menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dapat berdampak ke berbagai sektor, mulai dari manufaktur, hingga daya beli. (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, menilai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dapat berdampak ke berbagai sektor, mulai dari manufaktur, hingga daya beli.

"Kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. Perlu dipertimbangkan skema multi tarif," kata Ahmad dikutip dari keterangannya, Minggu (24/3/2024).

Secara makro, kenaikan PPN 12 persen akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relative lebih tinggi. Menurutnya, semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.

Disisi lain, seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.

"Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh yang terancam menurun," ujarnya.

Lantaran, ketika kenaikan PPN, Pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. Namun perlu dikalkulasi cost and benefitnya terhadap perekonomiandalam jangka pendek dan jangka panjang.

Tak Harus Naikkan PPN

Menurut Ahmad, untuk meningkatkan penerimaan negara bisa tanpa menaikkan PPN menjadi 12 persen. Diantaranya bisa dengan memperluas tax base PPN, maka potensi penerimaan pajak akan semakin meningkat.

Untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar, bukan melalui peningkatan tarif PPN, tetapi melalui penjaringan wajib pajak baru, yakni ekstensifikasi Penerimaan Perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai.

"Ekstensifisikasi cukai juga direncanakan akan diterapkan pada tahun mendatang. Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak," pungkasnya.

Pengusaha Minta Prabowo-Gibran Evaluasi Kenaikan PPN 12%

Ilustrasi pajak
Ilustrasi pajak. (Photo by 8photo on Freepik)

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani meminta pasangan calon presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk mengevaluasi kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik menjadi 12 persen pada 2025 mendatang. 

Shinta mengatakan, pihaknya sudah mendengar masukan dari pelaku usaha agar pemerintah turut memperhatikan situasi ekonomi yang tengah berjalan dalam mendongkrak PPN 12 persen. 

"Ini harus jadi perhatian, pada saatnya itu sudah masuk (jadi kebijakan) di pemerintah baru. Sehingga mereka bisa mengevaluasi dan melihat perkembangan saat ini," ujar Shinta di Jakarta, Jumat (22/3/2024).

Shinta mewajari jika kebijakan tersebut bukan sesuatu yang dadakan. Namun, ia meminta pemerintah bisa mengerti beberapa kelompok usaha yang tidak mampu mengantisipasi gejolak kondisi global saat ini. 

"Karena jelas ini sesuatu yang tidak kami antisipasi bahwa kondisi global akan separah ini. Dan nantinya PPN 12 persen pasti akan berpengaruh ke konsumen. Semoga bisa jadi perhatian dan pertimbangan apakah tepat waktunya (dinaikan per 1 Januari 2025)," ungkapnya. 

 

Bisa Kolaborasi

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani.

Lebih lanjut, Shinta juga menaruh harapan besar ke pemerintah baru di bawah Prabowo-Gibran agar bisa terus berkolaborasi dengan dunia usaha. Khususnya dalam mengantisipasi situasi ekonomi yang kian tidak menentu ke depannya. 

"Kita kan sekarang dalam kondisi ekonomi global yang tidak mudah. Sehingga saya rasa pemerintah yang akan datang musti peka, untuk bagaimana nanti meneruskan keberlanjutan dari reformasi struktural yang sudah dilakukan oleh pemerintah Jokowi," pintanya. 

Dalam hal ini, ia turut mendorong pemerintah baru nantinya bakal mengutamakan kepastian hukum. Sebab, Shinta tak ingin implementasi hukum yang tidak sesuai regulasi terus berulang.

"Tumpang tindih regulasi dan perizinan kerap kali ini jadi tantangan, ini juga harus terus jadi perhatian. Kita juga melihat bahwa banyak sekali sekarang permasalahan yang kita hadapi di lapangan, gap antara bagusnya policy tapi implementasi yang kurang," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya