Liputan6.com, Jakarta Utang jatuh tempo pemerintah Indonesia mencapai Rp 800,33 triliun pada 2025, tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan nilai utang itu tidak menjadi masalah, selama kondisi pemerintahan stabil.
Diketahui, 2025 merupakan tahun pertama pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Besaran nilai utang jatuh tempo itu terungkap dalam bahasan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) dalam RAPBN 2025.
Baca Juga
Sri Mulyani menegaskan, risiko dari utang jatuh tempo itu terbilang kecil jika keuangan negara stabil kedepannya.
Advertisement
"Jatuh tempo dari utang pemerintah, ini yang sering kemudian menimbulkan banyak sekali ada yang menganalisa ada yang khawatir, jadi kalau pengelolaan itu ada pokok yang jatuh tempo, risiko yang dihadapi oleh suatu negara bukan pada magnitude-nya tapi apakah kemampuan negara tersebut melakukan revolving pada biaya yang dianggap fair, itu menjadi salah satu bentuk risiko," tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (6/6/2024).
"Jadi kalau negara ini tetap kredibel, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, kondisi politiknya stabil, maka revolving itu sudah hampir dipastikan risikonya sangat kecil karena market beranggapan 'oh negara ini tetap sama'," sambungnya.
Rincian Utang
Perlu diketahui, angka utang jatuh tempo Rp 800,33 triliun yang akan ditanggung pemerintah Prabowo - Gibran itu diantaranya Rp 705,5 triliun merupakan Surat Berharga Negara (SBN), dan sisanya Rp 94,83 triliun dari jatuh tempo pinjaman.
Dia kembali menegaskan tingginya utang jatuh tempo RI di beberapa tahun mendatang bukan menjadi masalah jika kondisi di dalam negeri stabil.
"Sehingga jatuh temponya seperti yang terlihat disini 2025, 2026, 2027 yang kelihatan tinggi itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal, ekonomi dan juga politik tetap sama," tutur Menkeu.
Mengapa Utang Indonesia Besar?
Lebih lanjut, Bendahara Negara mengungkapkan alasan tingginya utang jatuh tempo beberapa tahun kedepan. Salah satunya, adanya beban belanja semasa pandemi Covid-19 lalu yang mencapai hampir Rp 1.000 triliun. Pada saat yang sama, pendapatan negara turun sebesar 19 persen.
"Maka defisit kita tinggi, nah waktu itu komisi XI, dengan kita serta pak Perry (Gubernur BI) setuju melakukan burden sharing itu menggunakan surat utang negara yang maturitasnya maksimum 7 tahun," ungkapnya.
"Jadi kalau tahun 2020, maksimal jatuh tempo dari pandemi itu semuanya di 7 tahun, dan memang ini sekarang konsentrasi di 3 tahun terakhir 5, 6, 7, sebagian di 8 (tahun). Nah ini lah yang kemudian menimbulkan persepsi, kok banyak sekali utang numpuk, karena itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issue surat utangnya," sambung Menkeu.
Advertisement