Rupiah Terperosok di Awal Pekan Gara-Gara AS

Pada awal perdagangan Senin pagi, rupiah turun 8 poin atau 0,05 persen menjadi 16.458 per USD dari penutupan perdagangan sebelumnya sebesar 16.450 per USD.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Jun 2024, 10:35 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2024, 10:35 WIB
FOTO: Akhir Tahun, Nilai Tukar Rupiah Ditutup Menguat
Karyawan menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada awal perdagangan Senin pagi, rupiah turun 8 poin atau 0,05 persen menjadi 16.458 per USD dari penutupan perdagangan sebelumnya sebesar 16.450 per USD. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Senin dibuka merosot. Pelemahan rupiah dipengaruhi data PMI Amerika Serikat (AS) yang solid.

Pada awal perdagangan Senin pagi, rupiah turun 8 poin atau 0,05 persen menjadi 16.458 per USD dari penutupan perdagangan sebelumnya sebesar 16.450 per USD.

"PMI Manufaktur AS secara mengejutkan naik menjadi 51,7 pada Juni 2024 dari 51,3 pada Mei 2024," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara, Senin (24/6/2024).

Josua menuturkan data PMI yang solid mendukung apresiasi nilai tukar dolar AS. PMI manufaktur melampaui ekspektasi konsensus pasar sebesar 51. Selain itu, PMI Jasa AS juga naik menjadi 55,1 pada Juni 2024, melebihi ekspektasi sebesar 54.

Data menunjukkan bahwa sektor manufaktur dan jasa di AS masih mengalami akselerasi pada Juni 2024, meningkatkan kemungkinan kebijakan suku bunga bertahan tinggi untuk waktu yang lebih lama (higher-for-longer) dari bank sentral AS atau The Fed.

Ia memperkirakan pada perdagangan hari ini nilai tukar rupiah akan berkisar di rentang 16.425 per USD sampai dengan 16.525 per USD.

Waspada, Rupiah Loyo Berpotensi Bikin Harga Obat Makin Mahal

Rupiah.
Ilustrasi seorang pegawai BRI sedang memegang uang Rupiah. (Foto: Istimewa)

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mewaspadai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus melemah.

Faisal mengingatkan, pelemahan rupiah berlarut ini tentunya akan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal.  

Alhasil itu akan membuat beban industri yang harus meng-impor bahan baku semakin tinggi. Imbasnya, konsumen di dalam negeri pun akan turut terkena dampak kenaikan harga untuk beberapa barang, dalam hal ini Faisal mengambil contoh produk obat-obatan. 

"Hampir semua sektor itu memiliki ketergantungan terhadap impor walaupun dengan level yang berbeda-beda. Yang paling besar ketergantungan impor pada sektor-sektor seperti obat-obatan, farmasi," ujar dia kepada Liputan6.com, Minggu (23/6/2024).

Selain obat-obatan, ia juga melihat produk industri manufaktur semisal untuk sektor otomotif hingga elektronik pun cukup memiliki ketergantungan terhadap impor bahan baku dan bahan penolong.

"Industri tekstil juga kita tahu bahwa kapas mengimpor. Lalu industri makanan beberapa bahan antaranya kita belum cukup produksinya di dalam negeri," imbuh Faisal.

Menurut dia, kondisi ini jadi penyebab kenapa pelaku industri relatif mengalami peningkatan impor. Lantaran proses produksi yang kompleks, di mana tidak semua bahan bakunya bisa didapat di Indonesia. 

"Walaupun kita juga mengekspor, sebagian kita juga mengimpor pada jenis-jenis tertentu. Apalagi yang saya katakan tadi, untuk obat-obatan tingkat impornya masih relatif termasuk yang paling tinggi," kata Faisal. 

 

Rupiah Tertekan, Siap-Siap Harga BBM Naik pada Juli 2024

Nilai Tukar Rupiah Kian Melemah
Petugas valas menghitung mata uang dolar AS di DolarAsia Valas di kawasan BSD, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/4/2024). (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, harga BBM milik PT Pertamina (Persero) disinyalir akan kembali mengalami kenaikan mulai Juli 2024, menyusul nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian melemah. 

Padahal, Pertamina telah menahan harga BBM non subsidi miliknya naik sejak awal-awal tahun hingga Juni 2024, meskipun kurs rupiah dan harga minyak dunia fluktuatif.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, kenaikan harga BBM non subsidi semisal Pertamax cs dalam waktu dekat memang tak terelakkan. 

Selain karena rupiah yang membuat ongkos impor BBM membengkak, harga minyak dunia yang terus bergerak naik jadi alasan kuat lain.

"Sangat mungkin harga BBM yqng non subsidi naik, apalagi harga minyak sekarang cenderung bergerak ke atas USD 80 per barel," kata Faisal kepada Liputan6.com, Jumat (21/6/2024).

Kendati begitu, ia tak bisa memperkirakan bagaimana gejolak harga BBM ke depan hingga akhir tahun. Lantaran beberapa faktor bisa mempengaruhi baik dari sisi positif ataupun negatif, semisal respon kebijakan fiskal pemerintah terhadap situasi saat ini. 

Terkait ketidakpastian ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berjanji akan menghitung dan mempertimbangkan kemampuan fiskal negara terkait potensi kenaikan harga BBM setelah ditahan sejak awal tahun.

"Semuanya dilihat fiskal negara. Mampu atau tidak mampu, kuat atau tidak kuat," kata Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara. 

RI 1 menyatakan, kemampuan APBN untuk melakukan subsidi BBM akan dihitung dengan pertimbangan harga minyak dunia, terutama di tengah kondisi geopolitik. Menurut dia, semua aspek tersebut akan dikalkulasi dan dihitung lewat pertimbangan yang matang.

"Harga minyaknya sampai seberapa tinggi. Semuanya akan dikalkulasi, semua akan dihitung, semua akan dilakukan lewat pertimbangan-pertimbangan yang matang karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Jokowi.

Sang Kepala Negara menilai, keputusan pemerintah terhadap harga BBM menyangkut hajat hidup orang banyak. "Bisa mempengaruhi harga, bisa mempengaruhi semuanya kalau urusan minyak," pungkas Jokowi.

BI Tahan Suku Bunga, Rupiah Bisa Tembus 16.500 per Dolar AS Hari Ini 21 Juni 2024

Rupiah Stagnan Terhadap Dolar AS
Teller tengah menghitung mata uang dolar AS di penukaran uang di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup stagnan di perdagangan pasar spot hari ini di angka Rp 14.125. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan. Dalam beberapa bulan terakhir nilai tukar rupiah telah tembus level psikologis di 16.000 per dolar AS. bahkan Pengamat Pasar Keuangan, Ariston Tjandra mengatakan bahwa mata uang garuda berpotensi terus melemah menuju 16.500 per dolar AS pada hari ini.

"Potensi pelemahan ke arah 16.500 per dolar AS dengan support di sekitar 16.380 per dolar AS," ujar Ariston di Jakarta, Jumat (21/6/2024). Tren pelemahan rupiah ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tren penguatan indeks dolar AS masih akan berlanjut di kisaran 105,60 pada hari ini.

"Potensi pelemahan rupiah masih terbuka terhadap dolar AS hari ini melihat indeks dolar AS yang masih bergerak naik pagi ini," ungkapnya.

Kedua, kebijakan bank sentral AS The Fed yang masih enggan menurunkan suku bunga acuan juga akan mendorong pergerakan mata uang dollar AS ke level yang lebih tinggi. Alhasil, sejumlah mata uang dunia termasuk Rupiah berpotensi mengalami pelemahan lebih dalam.

"Sentimen pelemahan rupiah masih sama, soal The Fed yang kelihatan enggan terburu-buru menaikan suku bunga acuannya," bebernya.

Dari sisi internal, Ariston menyoroti langkah intervensi Bank Indonesia (BI) yang tidak melakukan perubahan kebijakan suku bunga. Meski demikian, optimalisasi instrumen seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI dapat menarik dolar AS masuk ke Indonesia untuk mengurangi pelemahan Rupiah.

"Kemarin BI juga tidak melakukan perubahan kebijakan suku bunga. Tapi BI bisa memakai instrumen lain untuk menarik dolar masuk ke Indonesia seperti SRBI," ujarnya.

 

Infografis Nilai Tukar Rupiah
Infografis Nilai Tukar Rupiah (Liputan6.com/Trie Yas)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya