Ingat! Bijak Berutang Jelang Nataru

Jika memutuskan untuk berutang maka hal penting ini harus diingat, yaitu total cicilan utang baik produktif dan konsumtif maksimum 30 persen dari pendapatan, dan khusus untuk utang konsumtif maksimum 10 persen.

oleh Tira Santia diperbarui 16 Des 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 16 Des 2024, 18:00 WIB
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik
Ilustrasi Utang atau Pinjaman. Foto: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Jelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru), banyak orang merasa terdorong untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik itu untuk belanja, perjalanan, atau merayakan dengan keluarga.

Bahkan tidak jarang, situasi ini mendorong sebagian orang untuk berutang sebagai cara cepat memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, sebelum memutuskan untuk berutang, ada baiknya untuk berpikir matang-matang.

Dikutip dari laman Sikapi Uangmu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Senin (16/12/2024), berutang tanpa perencanaan yang tepat bisa berisiko besar bagi keuangan pribadi di masa depan.

OJK menyarankan agar masyarakat Indonesia memikirkan kembali untuk berutang. Tanyakan tiga hal ini kepada diri sendiri, pertama, apakah benar-benar perlu berutang?; kedua, periksa kembali kemampuan membayar cicilan per bulan: ketiga, harus mengenali dan mempelajari jenis-jenis utang sebelum memutuskan untuk berutang.

Berikut Jenis-jenis utang:

  • Utang Konsumtif: Utang untuk membeli barang yang tidakmendatangkan pemasukan (menambah pengeluaran). Contoh:mengutang untuk membeli TV layar datar, telepon genggamedisi terbaru.
  • Utang Produktif: Utang untuk membeli barang/aset yangmendatangkan pemasukan. Contoh: mengutang untukmembangun rumah kontrakan, membeli kendaraan untukdisewakan.

Selain itu, jika memutuskan untuk berutang maka hal penting ini harus diingat, yaitu total cicilan utang (produktif dan konsumtif) maksimum 30 persen dari pendapatan, dan khusus untuk utang konsumtif maksimum 10 persen.

Banyak Anak Muda Kejepit Utang Gara-Gara FOMO

Soft Launching Indonesia Anti-Scam Center, Upaya Satgas PASTI Tingkatkan Perlindungan Konsumen
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi. Soft Launching Indonesia Anti-Scam Center. (c) OJK

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti banyaknya generasi muda yang punya utang menumpuk. Akibat kerap meminjam uang demi membeli barang agar tidak ketinggalan tren, yang kini dikenal dengan istilah Fear of Missing Out atau FOMO.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan, fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. ia menyebut banyak anak muda yang mulai terjepit utang demi bisa membeli produk trendy.

"Anak-anak muda mulai pada over indebtedness, kebanyakan utang. Karena terlalu pingin gaya. Pingin pakai baju baru, jam tangan baru yang kekinian," ujar wanita yang kerap disapa Kiki tersebut di sela acara OECD/INFE-OJK Conference di The Westin Resort Nusa Dua Bali, Jumat (8/11/2024).

Menurut dia, itu terjadi lantaran adanya kemudahan teknologi. Berbekal telepon genggam, anak-anak muda kerap melakukan pinjaman tanpa sepengetahuan orang tua.

"Kalau sekarang mereka sudah dengan jempolnya bisa berutang. Itu yang berbahaya. Saya banyak ketemu kalau edukasi ke daerah-daerah, ibu-ibu tuh bilang, jadi anaknya seolah-olah di rumah, tapi ternyata jempolnya ke mana-mana. Tahunya ketika debt collector dateng nagihin begitu," ungkapnya.

Beban Utang

Kiki tak ingin fenomena ini terus berlanjut. Sebab, beban utang itu bakal menjadi catatan merah bagi yang bersangkutan. Lantaran segala aktivitasnya terekam di Sistem Layanan Informasi Konsumen (SLIK).

"Akhirnya ketika mereka mau ngajuin utang-utang untuk kredit rumah beneran, udah enggak bisa. Mau ngelamar kerjaan enggak bisa, udah ada kena catatan SLIK dan lain-lain. Ini yang harus kita selamatkan, anak-anak muda," seru dia.

Salah satu langkah penyelamatan, yakni dengan meminta para penyedia platform jasa keuangan ikut menggencarkan edukasi keuangan ke segala tingkat masyarakat.

"Dulu ibu-ibu, mindset orang tuh kalau keluarganya enggak bisa ngelola uang, ibunya disalahin. Anaknya enggak bisa sekolah karena anaknya boros, ibunya lagi disalahin. Jadi perempuan tuh juga harus kita didik dan seterusnya," pungkas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya