Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyoroti angka 81 persen kecelakaan di perlintasan sebidang yang terjadi akibat pintu rel tidak dijaga. Rata-rata ada 24 orang menjadi korban dalam satu bulan
Menurut dia, perlintasan sebidang sebagai perpotongan jalan dan jalur kereta masih rawan kecelakaan. Biasanya yang menjadi korban kecelakaan adalah pelintas yang belum pernah lewat jalur itu. Di sisi lain, kecepatan kereta api kini naik dari sebelumnya 90 km per jam menjadi 120 km per jam.
Baca Juga
Untuk itu, Djoko mengkhususkan petugas jaga lintasan (PJL) harus memenuhi persyaratan kesehatan, mengikuti pelatihan, dan mendapatkan sertifikasi. Syarat sehat jasmani dan rohani, menjaga berat badan ideal, menjaga kesehatan mata.
Advertisement
"Harus mengikuti pelatihan, yakni mengikuti pelatihan penyegaran, seminar, atau lokakarya sesuai dengan bidang tugasnya dan mengikuti diklat yang diselenggarakan oleh instansi yang ditunjuk," ujar dia, Rabu (19/2/2025).
"Di samping itu, harus memiliki sertifikat lulus sebagai PJL. PJL akan mendapatkan sertifikasi dari balai pengujian perkeretaapian setelah peserta lulus diklat. Dan mendapatkan perpanjangan masa berlakunya sertifikat kecakapan setelah lulus uji kompetensi," tegasnya.
Guna menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan pengguna jalan raya, Djoko mengimbau perlintasan sebidang dapat ditutup dan digantikan dengan perlintasan tidak sebidang. Perlintasan tidak sebidang berupa jalan layang (flyover) atau terowongan (underpass).
"Pemerintah pusat dan daerah idealnya menutup pelintasan sebidang yang rawan kecelakaan. Namun, pemerintah juga bisa menyediakan jalan layang atau underpass agar pengendara tidak melintasi jalur itu lagi," imbuhnya.
Harus Waspada
Di sisi lain, ia menambahkan, pengguna jalan juga harus waspada. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mewajibkan pengendara berhenti ketika sinyal kereta sudah berbunyi dan palang pintu kereta api tertutup.
Merujuk data dari PT KAI (2025), total 3.896 perlintasan sebidang atau Jalur Perlintasan Langsung (JPL) terdiri dari 2.803 JPL resmi dan 1.093 JPL liar. Sebanyak 1.879 JPL tidak terjaga yang terdiri 971 JPL resmi tidak terjaga dan 908 JPL liar tidak terjaga.
Sementara 2.017 JPL terjaga, yang dikelola swasta sebanyak 40 JPL, swadya masyarakat 460 JPL, Pemda (Dinas Perhubungan) 538 JPL dan PT KAI 979 JPL.
Advertisement
Angka Korban Terus Bertambah
Total kejadian kecelakaan di perlintasan sebidang mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Sejak 2020 sebanyak 269 kejadian, berikutnya 2021 (277 kejadian), 2022 (288 kejadian), 2023 (328 kejadian) dan 2024 (337 kejadian).
Total korban 1.226 orang selama 2020-2024. Sebanyak 450 meninggal dunia, 318 luka berat dan 458 luka ringan. Rata-rata ada 24 orang menjadi korban dalam satu bulan. Lokasi kecelakaan 81 persen terjadi di perlintasan yang tidak dijaga.
Dalam lima tahun terakhir terjadi 1.499 kecelakaan di perlintasan sebidang. Lokasi kecelakaan 81 persen terjadi di perlintasan yang tidak dijaga. Jenis kendaraan terdampak 55 persen adalah sepeda motor dan kendaraan roda empat dan lebih sebanyak 45 persen.
Jumlah lokomotif tertemper pada 2020 sebanyak 490 unit. Lalu, di 2021 (527 unit), 2022 (617 unit), 2023 (660 unit) dan 2024 (756 unit).
Rawan di Perlintasan Sebidang
Kecelakaan maut di pelintasan sebidang terus berulang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 94 menyebutkan pemerintah atau pemda seharusnya menutup pelintasan sebidang yang tak berizin.
"Jika jalan nasional, wewenangnya ada di pemerintah pusat. Begitupun jalan provinsi dan kabupaten," tegas Djoko.
Djoko menyebut, akhir-akhir ini banyak kejadian kecelakaan di perlintasan sebidang pada malam, dengan lokasi berada di perdesaan. Pelintasan sebidang banyak bermunculan seiring meluasnya kawasan permukiman ke desa-desa.
"Dan kehidupan sudah 24 jam, tidak bisa lagi pintu perlintasan dijaga hanya pada jam tertentu saja. Kalau malam tidak dijaga, sehingga pelintas kurang mengetahui, karena tidak mau memperhatikan keberadaan rambu dan marka," imbuhnya.
"Sebaiknya perlintasan yang dijaga 24 jam, jika tidak ada penjaga sebaiknya jalur perlintasan sebidang itu ditutup dengan memasang palang penutup," kata Djoko memberikan saran.
Kewaspadaan harus ditingkatkan di perlintasan sebidang antara jalan rel dan jalan raya, terutama di jalan desa dan malam hari. Dapat dilakukan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah desa.
"Di tengah efisiensi anggaran, jangan ada PJL yang dirumahkan. Meskipun, pengelolaan JPL ada yang dilakukan Dinas Perhubungan (Pemda). Kementerian Dalam Negeri dapat membantu memperkuat keberadaan PJL yang dapat dikelola dengan Dana Desa," pintanya.
Advertisement
