PT Pertamina (Persero) mengaku masih membutuhkan dolar Amerika Serikat (AS) untuk membayar impor minyak hingga 300 ribu barel per hari meski nilai tukar dolar melambung tinggi.
"Melihat kondisi saat ini di mana nilai tukar dolar meningkat, kami butuh dolar AS lebih banyak," ucap Senior Vice President Corporate Strategic Growth, Gigih Prakoso di acara APEC Conference on Clean, Renewable & Suistanable Use of Energy di Nusa Dua Bali, Rabu (02/10/2013).
Walaupun tak bersedia menyebut kebutuhan dolar AS untuk impor minyak, namun dia mengaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu harus merogoh investasi besar untuk melakukan impor serta membayar ongkos produksi pengolahan minyak.
"Modal kerja bagi importir dan biaya produksi sangat besar dengan nilai mencapai US$ 50 juta sampai US$ 100 juta per hari. Ini untuk mengolah produksi minyak nasional rata-rata satu juta barel per hari, dan impor 200 ribu-300 ribu barel per hari. Karena konsumsi BBM dalam negeri sekitar 1 juta-1,3 juta barel per hari," terangnya.
Dalam memenuhi pasokan dolarnya, Gigih mengatakan, perusahaan penyumbang dividen itu memperoleh suplai dolar dari sejumlah perbankan pemerintah atas monitoring dan pengawasan dari Bank Indonesia (BI).
"Tapi kami kan berencana melakukan lindung nilai (hedging) di tahun ini supaya bisa menghemat devisa," sambungnya.
Saat ini, tambah Gigih, tahapan atau proses hedging masih dalam proses pembicaraan dan penggodokan dengan Departemen atau Kementerian terkait. Perseroan sedang membuat kontrak sebagai payung hukum agar pelaksanaan hedging dapat sesuai governance.
"Kami melakukan penghematan devisa dengan mengupayakan peningkatan produksi minyak dalam negeri serta menyerap minyak hasil produksi sejumlah kontraktor-kontraktor di Indonesia. Sebagian besar akan memanfaatkan untuk kilang-kilang minyak kami," pungkas Gigih. (Fik/Ndw)
"Melihat kondisi saat ini di mana nilai tukar dolar meningkat, kami butuh dolar AS lebih banyak," ucap Senior Vice President Corporate Strategic Growth, Gigih Prakoso di acara APEC Conference on Clean, Renewable & Suistanable Use of Energy di Nusa Dua Bali, Rabu (02/10/2013).
Walaupun tak bersedia menyebut kebutuhan dolar AS untuk impor minyak, namun dia mengaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu harus merogoh investasi besar untuk melakukan impor serta membayar ongkos produksi pengolahan minyak.
"Modal kerja bagi importir dan biaya produksi sangat besar dengan nilai mencapai US$ 50 juta sampai US$ 100 juta per hari. Ini untuk mengolah produksi minyak nasional rata-rata satu juta barel per hari, dan impor 200 ribu-300 ribu barel per hari. Karena konsumsi BBM dalam negeri sekitar 1 juta-1,3 juta barel per hari," terangnya.
Dalam memenuhi pasokan dolarnya, Gigih mengatakan, perusahaan penyumbang dividen itu memperoleh suplai dolar dari sejumlah perbankan pemerintah atas monitoring dan pengawasan dari Bank Indonesia (BI).
"Tapi kami kan berencana melakukan lindung nilai (hedging) di tahun ini supaya bisa menghemat devisa," sambungnya.
Saat ini, tambah Gigih, tahapan atau proses hedging masih dalam proses pembicaraan dan penggodokan dengan Departemen atau Kementerian terkait. Perseroan sedang membuat kontrak sebagai payung hukum agar pelaksanaan hedging dapat sesuai governance.
"Kami melakukan penghematan devisa dengan mengupayakan peningkatan produksi minyak dalam negeri serta menyerap minyak hasil produksi sejumlah kontraktor-kontraktor di Indonesia. Sebagian besar akan memanfaatkan untuk kilang-kilang minyak kami," pungkas Gigih. (Fik/Ndw)