Liputan6.com, Tokyo - Sejak tetangganya yang sama-sama berusia lanjut pindah pada 1 dekade lalu, Yoriko Haneda melakukan apa yang dia bisa untuk menjaga rumah kosong itu agar tak merusak pemandangan. Haneda tiap hari memangkas dan merapikan semak serta rumput, demi pemandangan sempurna laut di depannya.
Para relawan tidak lagi mengurus rumah-rumah tua itu lagi. Salah satu rumah kosong lainnya telah ditumbuhi pohon bambu.
Baca Juga
Puluhan rumah tak berpenghuni itu ada di kawasan Bukit Yokosuka, perfektur Kanagawa.
Advertisement
"Banyak rumah kosong di mana-mana, tempat di mana tidak ada yang tinggal selama 20 tahun, dan kini lebih banyak rumah kosong bermunculan sepanjang waktu," kata Haneda, kepada New York Times, 23 Agustus 2015.
Perempuan 77 tahun ini mengeluh banyak pencuri masuk ke rumah tetangganya. Belum lagi topan yang menghampiri wilayah itu beberapa waktu lalu, merusak atap rumah-rumah kosong tersebut.
Rumah-rumah "hantu" ini adalah tanda yang paling terlihat dari kemunduran jumlah populasi di Jepang, di mana jumlah penduduknya mengalami penurunan yang luar biasa dalam 50 tahun. Tekanan demografis telah membebani ekonomi Jepang.
Jumlah sebagai tenaga kerja yang menyusut telah mendorong perdebatan sengit, terkait bagaimana meningkatkan populasi mereka. Apakah penambahan imigrasi atau mendorong perempuan untuk memiliki anak lagi?
Untuk saat ini, meskipun, setelah puluhan tahun Jepang pernah berjuang dengan kepadatan penduduk, kini Negeri Matahari Terbit itu menghadapi masalah sebaliknya: ketika populasi menyusut, apa yang harus dilakukan dengan bangunan-bangunan kosong itu?
Banyak rumah kosong Jepang telah diwariskan kepada anak cucu mereka. Namun, tidak ada yang mau meninggalinya, pun tak tertarik menjual karena tak banyak peminatnya.
Tapi untuk menghancurkan rumah itu, mereka harus mengeluarkan biaya. Pemerintah Kota Tokyo lalu mengeluarkan peraturan tahun ini, untuk mempromosikan pembongkaran rumah paling bobrok secara gratis.
Tetapi para ahli mengatakan hal ini justru akan meningkatkan gelombang keluarga yang meninggalkan rumah mereka tersebut.
"Tokyo akan dikelilingi oleh kota-kota macam Detroit," kata seorang ahli properti, Tomohiko Makino, yang telah mempelajari fenomena rumah kosong. Banyak penduduk meninggalkan Yokosuka dan kota kecil lain di sekeliling Tokyo, untuk tinggal di jantung ibukota Jepang.
Masalahnya, Yokosuka dahulu adalah kota yang ramai dan paling diminati. Tokyo hanya ditempuh dalam satu jam. Kota itu dekat dengan pangkalan dan pabrik-pabrik mobil angkatan laut.
Yokosuka menarik ribuan pencari kerja muda di era pertumbuhan ekonomi dari masa ke masa. Lalu, saat Perang Dunia II tanah di lokasi itu menjadi langka dan mahal, sehingga pendatang baru membangun rumah-rumah sederhana.
Hari ini ledakan peminat Yokosuka berbalik. Para pekerja muda itu kini pensiun. Mereka pun memberi alih kepemilikan rumah kepada anak-anaknya. Namun, kebanyakan dari mereka lebih memilih tinggal di Tokyo atau pusat kota lainnya dibanding di kota kecil itu.
"Anak-anak mereka kini lebih senang tinggal di gedung-gedung bertingkat modern di pusat kota Tokyo," kata Makino. "Bagi mereka, rumah keluarga adalah beban, bukan aset."
Angka kelahiran Jepang jeblok semenjak 1970-an. Sebagian kaum muda menunda pernikahan dan banyak wanita Jepang menunda memiliki anak saat mereka lebih memilih kariernya.
Kota Yokosuka kini sedang mencoba untuk mengubah itu, dengan mendorong pemilik rumah yang ditinggalkan untuk merapikan rumah-rumah itu dan mencoba menjualnya. Mereka membuat laman vacant home bank, tentang penjualan kediaman-kediaman itu. Tanah di Yokosuka turun sebesar 70 persen dari puncaknya saat akhir 1980-an.
Rumah-rumah kosong ini telah mencuri hati pemilik yang benar-benar menyukai rumah antik. Banyak peminat datang ke Yokosuka, tapi hanya satu yang telah membeli melalui vacant home bank sejauh ini. Rumah kayu berusia 60 tahun berlantai satu dengan sepetak kebun, laku 660 ribu yen atau US$ 5.400.
Rumah yang jauh di atas bukit dihargai "hanya" ratusan dolar saja. Empat rumah juga telah disewa, termasuk satu untuk mahasiswa keperawatan di sebuah perguruan tinggi terdekat yang menerima diskon sebagai imbalan untuk mengecek orang-orang tua di daerah itu.
Rumah Haneda tak jauh dari rumah keluarga Mioko Utagawa. Suami Utagawa membelinya untuk bibi mereka pada 1970-an, setelah si bibi bercerai dan pindah dari Tokyo. Sekarang dia berada di sebuah panti jompo. Keluarga telah membayar pajak properti sederhana itu. Namun kini kondisi rumahnya semakin parah.
"Bahkan jika kita tetap mempertahankan rumah itu dan memperbaikinya, tak seorang pun akan menginginkannya," kata Utagawa.
Keluarga Utagawa baru-baru ini setuju untuk membongkar rumah, setelah dewan kota menawarkan subsidi biaya 3 juta yen untuk pembongkaran rumah itu.
Direktur Departemen Perencanaan Kota, Noriyuki Shima mengatakan pertimbangan subsidi biaya pembongkaran hanya untuk rumah yang berdampak buruk bagi lingkungan sekitarnya.
"Memberikan uang publik untuk menghancurkan rumah pribadi bukanlah sesuatu yang bisa kita lakukan dengan mudah," kata Shima.
Hidetaka Yoneyama, spesialis perumahan di Fujitsu Research Institute, mengatakan ledakan pembangunan rumah di Jepang terjadi 30 tahun lalu. "Populasi menurun dan tidak ada yang mau tinggal di rumah-rumah tua. Mereka lebih senang tinggal di kondominium," ujar dia. (Rie/Tnt)