Liputan6.com, Skopje - Tiga perempuan telah menjadi momok menakutkan bagi elit politik di Makedonia. Berangkat dari aksi protes jalanan, kini ketiganya 'menggoyang' negara kecil di Semenanjung Balkan itu. Bahkan beberapa orang menyebut mereka sebagai 'Charlie's Angels'.
Pada pukul 18.00 sore waktu Makedonia, terlihat kerumunan orang di luar sebuah kantor yang berada di sebelah burger bar di pusat Kota Skopje. Mereka yang berkumpul terdiri dari berbagai usia, mulai dari pelajar hingga pensiunan. Demikian seperti dilansir BBC, Minggu (26/6/2016).
Beberapa datang dengan wajah yang sudah dilukis, sebagian lainnya membawa peluit atau terompet. Peristiwa itu merupakan aksi demonstrasi yang terjadi hampir setiap malam selama beberapa pekan terakhir untuk mendukung tim kejaksaan khusus.
Kepala kejaksaan, Katica Janeva merupakan salah satu perempuan paling terkenal di seantero Makedonia. Sebagai aparat penegak hukum yang bertugas di perbatasan Kota Gevgelija, Janeva telah mengukir sejumlah prestasi, di antaranya menangkap pencuri dan menangani penyelundupan manusia.
Kini, di tengah gejolak yang melanda bekas wilayah Yugoslavia itu, Janeva didesak untuk menyelidiki pelanggaran dan korupsi yang dipicu oleh skandal penyadapan besar. Kasus itu terbongkar sejak 2015 lalu, setelah partai oposisi Makedonia mendapatkan sebuah rekaman hasil pembicaraan rahasia.
Berdasarkan rekaman tersebut, pemerintah diduga berusaha memperketat kontrol atas dua juta rakyat negara melalui penyadapan telepon yang dilakukan terhadap lebih dari 20.000 orang. Laporan Komisi Eropa menyebutkan, penyadapan tersebut dilakukan oleh dinas keamanan atas perintah Perdana Menteri Nicola Gruevski.
Dalam rekaman yang dibuka ke publik akhir Mei lalu, terindikasi kuat sejumlah politisi dan pejabat tinggi terlibat dalam kecurangan pemilu, penyalahgunaan kekuasaan, tindak kriminal, kebrutalan polisi bahkan mencoba menutupi kasus pembunuhan.
Puluhan ribu orang marah dan menggelar demonstrasi menyikapi beredarnya rekaman itu. Namun, kekacauan tersebut ditengahi oleh Uni Eropa.
Kesepakatannya, Perdana Menteri Gruevski akan mundur dari jabatannya demi terlaksananya pemilu yang bebas dan adil. Setelah itu, semua pihak sepakat untuk membentuk sebuah tim penyelidik independen -- Kantor Kejaksaan Khusus -- yang bertugas menyelidiki isi pembicaraan rahasia dalam rekaman itu.
Para penyelidik itu terdiri atas 11 jaksa. Namun semua mata tertuju pada tiga jaksa perempuan yang tergabung dalam tim tersebut.
Janeva, bertindak sebagai pemimpin tim. Ia diapit oleh dua letnan muda, Lence Ristovska dan Fatime Fetai. Ketiga perempuan inilah yang dielu-elukan rakyat Makedonia sebagai Charlie's Angel karena masing-masing memiliki reputasi mengagumkan.
Ristovska adalah seorang turunan Slavia, sementara Fetai berdarah Albania -- kaum minoritas yang terdiri dari seperempat penduduk Makedonia.
Ristovska yang dikenal dengan retorika berapi-apinya, Fetai yang tegas, dan Janeva yang berani disebut sebagai simbol kekuatan di negara yang memiliki ketegangan antar etnis itu.
Tantangan Bagi 'Charlie's Angel'
Tantangan bagi 'Charlie's Angel'
Penunjukkan Janeva sebagai pemimpin tim penyelidik independen awalnya dipuji oleh PM Gruevski. Ia menggambarkan sosok perempuan itu sebagai seorang profesional berpengalaman yang telah mendapat pelatihan di Italia dan Amerika Serikat (AS).
Tak terpengaruh dengan pujian sang perdana menteri, Janeva malah balik mengajukan pertanyaan yang menyudutkan Gruevski. Ia mempertanyakan soal pengadaan peralatan pengintai Israel yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Rahasia -- diketahui sebagai sepupu Gruevski.
Nada bicara PM Gruevski pun berubah. Pada kesempatan itu, ia menuding Janeva sebagai 'boneka oposisi' dan bagian dari konspirasi untuk menjatuhkannya.
Janeva sama sekali tidak ambil pusing dengan tuduhan tersebut. "Keadilan akan menang terlepas dari tuduhan politis yang diberikan kepada saya dan rekan-rekan," ujarnya Februari lalu.
Ia justru mengumumkan penyelidikan dengan kode 'Titanic' atas Gruevski dan sekelompok menteri terkait dugaan peran mereka dalam kecurangan pemilu.
Perjuangan Charlie's Angel untuk membongkar kasus pelanggaran kekuasaan dan korupsi sempat terganggu ketika Presiden Makedonia memberikan grasi terhadap 56 politisi dan pejabat yang tengah diselidiki. Hal itu mengundang gelombang protes yang dikenal dengan Colourful Revolution -- demonstran turun ke jalan dan melemparkan balon berisi tinta warna-warni ke sejumlah bangunan dan monumen di ibu kota.
Di bawah tekanan internasional, grasi itu dicabut. Namun tantangan tim penyelidik independen itu masih berlanjut, di mana mereka harus menyelidiki barang bukti berupa 546.000 kaset audio hasil penyadapan.
Tim yang dipimpin Janeva itu juga harus berkejaran dengan waktu untuk menyelidiki dan menyiapkan dakwaan atas berbagai dugaan tindakan melawan hukum mengingat tenggat yang diberikan kepada mereka adalah 18 bulan, terhitung sejak Desember lalu.
Sejauh ini, tim Janeva telah membuka tujuh kasus dan menyelidiki sekitar 60 orang. Itu hanya sebagian kecil saja dari banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan petinggi negara itu.
Di Makedonia, orang-orang kebanyakan skeptis dengan kolusi. "Di negeri ini Anda tidak akan mendapat pekerjaan tanpa dekat dengan kalangan atas," ujar aktivis HAM, Biljana Ginova.
Namun kehadiran 'Charlie's Angel' mengubah pandangannya. Ia mengaku terkesan dengan sikap independen dan profesional mereka.
"Mereka bersungguh-sungguh. Dan ketiganya, telah menginspirasi kaum perempuan di negeri ini - di mana pada umumnya keputusan penting diambil oleh kaum laki-laki," jelas Ginova.
Wajah ketiga perempuan itu tersebar di sejumlah poster, t-shirt, dan tembok-tembok di jalanan disertai dengan tulisan CJO yang merupakan inisial bagi Kantor Kejaksaan Khusus itu.
"Mereka adalah secercah harapan nyata bahwa keadilan bisa terjadi di negara ini. Pesan mereka, bahwa hukum adalah hukum dan tidak ada seorang pun yang bisa melawannya," ujar salah seorang pendukung 'Charlie's Angels' itu.
Ristovska menyampaikan ia dan dua rekannya sangat berterima kasih atas dukungan rakyat Makedonia. Namun di sisi lain mereka tidak nyaman dengan permintaan untuk tanda tangan bahkan foto bersama.
"Kami bukan bintang rock. Kami pekerja profesional dan sedikit aneh ketika kami diperlakukan seperti VIP," ujar Ristovska.
Advertisement